Selasa, 25 Februari 2014

Biografi, Karya-karya dan Filsafat Al-Farabi

Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna, karena dilengkapi akal dan pikran sebagiman yang tidak dimiliki oleh hewan, tumbuhan, serta makhluk yang lain. Oleh karena itu, manusia selalu memiliki rasa ingin tahu yang besar terhadap fenomena alam yang ada disekitarnya. Dengan  perasaan penasaran inilah manusia mulai berpikir untuk mencari penyebab atau kebenaran yang hakiki dibalik segala fenomena alam yang terjadi. Mulai dari sinilah, muncul yang disebut dengan filsafat. Filsafat merupakan induk dari semua ilmu pengetahuan. Karena melaui filsafat inilah seseorang mulai mencari kebenaran.

Filsafat berasal  dari bahasa Yunani yaitu Philosophia. Philein yang berarti mencintai dan shopia berarti kebijaksanaan. Jadi philosophia artinya mencintai kebijaksanaan. (Arab: Muhibbu al-Hikmah; Inggris: Love of Wisdom). Akan tetapi dalam lisan Arab kata Sophia dipindah kedalam bahasa mereka dengan kata hikmah.
Kebijaksanaan atau pengetahuan sejati itu tidak didapati oleh satu orang saja. Secara histori, setelah datang seorang folosof (orang yang berfilsafat), kemudian muncul filosof lain yang mengoreksi temuan filosof pertama dan mengajukan gagasan pembaruan dari yang sebelumnya, demikian seterusnya selama kehidupan berlangsung. Ini adalah refleksi potensi kemanusiaan yang telah dianugerahkan oelah Allah SWT yaitu akal, intuisi, alat indera, dan kekuatan fisik.[1]
Jadi secara sederhana dapat dikatakan, filsafat adalah hasil kerja berpikir dalam mencari hakikat segala sesuatu secara sistematis, radikal dan universal. Sedangkan dalam filsafat Islam sendiri adalah hasil pemikiran filsuf tentang ketuhanan, kenabian, manusia dan alam yang disinari oleh ajaran islam dalam suatu aturan pemikiran yang logis dan sistematis yang diciptakan oleh ahli pikir Islam.[2]
Menurut sejarah banyak sekali filsuf Islam yang muncul seperti al-Kindi, Al-Razi, Ibnu Sina, Al-Ghazali, Ibnu Ryusd, Al-Farabi dan lain-lain. Akan tetapi pada makalah ini, penulis akan focus membehas filsuf Islam yakni Al-Farabi. Beliau pada zamannya termasuk seorang filsuf yang sangat terkenal bahkan ada yang menyebutnya sebagai Muallim Assani (Guru besar filsafat kedua setelah Aristoteles). Ia berasal dari daerah Farab wilayah Turkistan. Pada masanya, beliau dapat dibilang filsuf terbesar yang memilki banyak keahlian di banyak bidang keilmuan seperti bahasa, matematika, kimia, astronomi, ilmu alam, music, manthiq dan sebagainya. Beliau juga sekaligus peletak dasar filsafat dibeberapa cabang keilmuan yang nantinya akan dibahas oleh penulis diantaranya yaitu tentang ketuhanan, filsafat kenegaraan, filsafat praktis serta filsafat logika dan bahasa yang tentu akan sangat menarik jika dibahas nanti.
Berdasarkan ulasan latar belakang inilah penulis mengambil judul “Al-Farabi” pada karya tulis ini, semoga dengan mengetahui lebih dalam tentang cara berfilsafat al-Farabi dapat memberikan kita tambahan ilmu yang luar biasa yang nantinya dapat kita gunakan dalam kehidupan yang Islami.

Biografi Al-Farabi
Abu Muhammad Ibn Muhammad Ibn Takhan Ibn Auzalagh  atau yang lebih dikenal dengan sebutan Al-Farabi dilahirkan pada tahun 257 H atau 870 M dan meninggal pada tahun 950 M atau pada tahun 258 H – 339 H. sebagai suatu sistem pembangunan filsafat, Al-Farabi telah membaktikan hidup dan pemikirannya pada masyarakat dunia Islam dan tidak terkecuali bagi kaum nasrani dan yahudi. Al-Farabi merupakan seorang philosof muslim yang menjauhi dunia politik, keramaian dan gaungan serta kericuhan masyarakat. Ia telah membuahkan karya dan pemikirannya yang sampai sekarang banyak dianut oleh masyarakat barat dan timur.[3]
Kehidupan seorang Al-Farabi dapat dikategorikan menjadi dua periode, yaitu periode pertama berawal sejak ia dilahirkan sejak usianya beranjak 50 tahun. Informasi yang diterima tentang hal ini adalah bahwa seorang Al-Farabi dilahirkan di Wasij, sebuah desa kecil dekat Farab di transoxiana. Al-Farabi terlahir sebagai seorang berkebangsaan Turki dan ayahnya seorang jenderal dan ia pernah bekerja sebagai hakim dalam kurun waktu tertentu. Pada awal abad ke 3 H atau 9 M di Farab sendiri tengah terjadi pergerakan kebudayaan dan pemikiran yang luas dan bersamaan dengan pengenalan Islam dan pada saat itu  pula terkenal seorang ahli bahasa Al-Jauhari yang telah menulis buku Al-Shihah, salah seorang yang hidup pada zaman Al-Farabi. Pendidikan dasarnya adalah keagamaan dan bahasa. Ia mempelajari fiqh, hadist dan tafsir Al-Qur’an. Ia juga mempelajari bahasa Arab, Turki dan Parsi. Adalah sangat meragukan bahwa seorang Al-Farabi menguasai bahasa-bahasa lainnya seperti apa yang dikatakan oleh Ibn Khalikan, Al-Farabi menguasai 70 bahasa.[4]
Periode kedua, kehidupan Al-Farabi adalah pada massa tua. Baghdat, sebagai pusat belajar terkemuka pada abad ke 4 H atau 10 M merupakan tempat pertama yang dikunjunginya dan disanalah ia bertemu dengan sarjana-sarjana dari berbagai bidang keilmuan dan diantaranya adalah para philosof dan penterjemah. Al-Farabi pun tertarik untuk mempelajari logika, dan diantara ahli-ahli logika terkenal di Bagdhat diantaranya adalah Abu Bisyr, Matta Ibn Yusnus lah yang dipandang sebagai seorang ahli logika yang paling terkemuka dizamannya. Untuk beberapa waktu Al-Farabi belajar dari Ibn Yusnus dan berhasil mengungguli gurunya karena pencapaiannya yang gemilang dibidang logika. Guru logika yang kedua yang dimiliki Al-Farabi adalah muridnya yang bernama Yahya ibn Adi.
Al-Farabi tinggal di Bagdhat selama kurun waktu 20 tahun  dan kemudian ia pun tertarik dengan pusat kebudayaan yang lain di Aleppo. Disana, tempat orang-orang pandai dan para sarjana. Istana Saif Al-Daulah berkumpul para penyair, ahli bahasa, philosof dan sarjana – sarjana kenamaan lainnya. Tetapi ia memilih hidup sederhana (Zuhud) tidak tertarik dengan kemewahan dan kekayaan.[5]
Al-Farabi hidup pada zaman ketika situasi politik dan kekuasaan Abbasasiyah diguncang oleh berbagai gejolak, pertentangan dan pemberontakan. Diperkirakan erat kaitannya dengan situasi politik yang demikian kisruh, al-Farabi gemar berhalwat, menyendiri, dan merenung. Ia merasa terpanggil untuk mencari pola kehidupan bernegara dan bentuk pemerintahan yang ideal.[6]
Karena begitu mendalam penyelidikanya tentang filsafat Yunani  terutama mengenai filsafat Plato dan Aristoteles, sehingga ia digelari  julukan Mu’ alim Tsani  (Guru Kedua), karena Guru Pertama diberikan  kepada Aristoteles, disebabkan usaha Aristoteles meletakkan dasar  ilmu logika yang pertama dalam sejarah dunia.

Karya-karya Al-Farabi
Al-Farabi dikenal sebagi filsuf Islam yang terbesar memiliki keahlian dalam bidang keilmuan, seperti bahasa, matematika, logika, manthiq dan sebagainya. Sebagian besar karyanya hilang, dan yang masih bisa dibaca dan dipublikasikan kurang lebih 30 judul saja, diantaranya yaitu:
1.         Al-Jam’u baina Ra’yay al-Hakimain Alflatun wa Arissthu;
2.         Tahiq Ghard Aristu fi kitab ma Ba’da Ath-Thabi’ah;
3.         Syarah Risalah Zainun al-KAbir al-Yunani;
4.         At-Ta’liqat;
5.         Risalah fima Yajibu Ma’rofat Qabla ta’allumi al-Falsafah;
6.         Kitab Tahsil as-Sa’adah;
7.         Risalah fi Istbat al-Mufaraqah;
8.         ‘Uyun al-Masa’il;
9.         Ara ‘Ahl-al-Madinah al-Fadilah;
10.     Ihsa al-‘Ulum wa at-Ta’rif bi Aghradita;
11.     Maqalat fi Ma’ani Aql;
12.     Fushul al-Hukm;
13.     Risalat al-Aql;
14.     As-Siyasah al-Madaniyah;
15.     Al-Masa’il al-Falsafiyah wa al-Ajwibah Anha.
Dari ktab-kitab di atas dengan berbagai macam objek kajian yang ditulis al-Farabi, terlihat jelas bahwa ia seorang sosok filsuf, ilmuwan dan cendekiawan Islam yang hebat. Sebelum dia, al-Kindi telah membuka pintu filsafat Yunani bagi dunia Islam. Akan tetapi banyak persoalan yang dibicarakan belum memperoleh pemecahan yang memuaskan. Sebaliknya al-Farabi telah menciptakan suatu system filsafat yang jauh lebih lengkap seperti peranan yang dimiliki Plotinus bagi dunia Barat. [7]

Filsafat Al-Farabi
Al-Farabi memiliki beberapa substansi pemikiran diantaranya:

Pemaduan Filsafat
Dalam pemikirannya al-Farabi berusaha untuk memadukan beberapa aliran filsafat yang berkembang sebelumnya, terutama pemikiran Plato, Aristoteles, dan Plotinus, juga antara agama dan filsafat. Oleh karenanya dalam hal akhlak dan politik ia dpengaruhi oleh Plato, dalam logika dan fisika ia dipengaruhi oleh Aristoteles, sedangkan dalam hal metafisika ia dipengaruhi oleh Plotinus.
Ini sebenarnya adalah usaha yang dilakukan al-Farabi kea rah sinkretis. Karena ia percaya bahwa aliran-aliran filsafat dari seorang filosof pada hakikatnya adalah satu, meskipun hasilnya beragam.[8]
Adapun perbedaan antara agama denga filsafat, tidak selalu ada karena keduanya mengacu pada kebenaran, dan kebenaran itu adalah satu, kendati posisi dan cara mendapatkannya berbeda. Yang satu menawarkan kebenaran yang lain mencari kebenaran. Tetapi kebenaran yang berada dalam keduanya adalah serasi karena bersumber dari akal yang katif. Dengan demikian, filsafat Yunani tidak bertentangan secara hakikat dengan jaran Islam. Hal ini tidak berarti Alfarabi mengagungkan filsafat dari agama. Ia tetap mengakui bahwa ajaran Islam mutlak kebenarannya.[9]

Metafisika
Di antara pemikiran filsafat Al-Farabi yang terkenal adalah penjelasannya tentang emanasi (al-faid), yaitu teori yang mengajarkan tentang proses urut – urutan kejadian suatu wujud yang mungkin (alam makhluk) dari Zat yang wajib al wujud (Tuhan). Menurutnya, Tuhan adalah akal pikiran yang bukan berupa benda. Segala sesuatu, menurut al-Farabi, keluar (memancar) dari Tuhan karena Tuhan mengetahui bahwa Ia menjadi dasar susunan wujud yang sebaik – baiknya. Ilmu-Nya menjadi sebab bagi wujud semua yang diketahui-Nya.[10]
Bagaimana cara emanasi itu terjadi? Al-Farabi mengatakan bahwa Tuhan itu benar – benar Esa sama sekali. karena itu, yang keluar dari pada – Nya juga tentu harus satu wujud saja. Kalau yang keluar dari zat Tuhan itu terbilang, maka berarti zat Tuhan juga terbilang. Menurut Al-Farabi dasar adanya emanasi ialah karena dalam pemikiran Tuhan dan pemikiran akal-akal yang   timbul dari Tuhan terdapat kekuatan emanasi dan pencip-taan.
Pandangan al-Farabi tentang sifat Tuhan, sejalan degan paham Muktazilah, yakni sifat Tuhan tidak berbeda dengan substansi-Nya. Asmaul Husna tidak menunjukkan adanya bagian-bagian pada Dzat Tuhan. [11]

Jiwa
Adapun tentang jiwa, al-Farabi dipengaruhi oleh filsafat Plato. Jiwa manusia, menurut al-Farabi, memiliki 3 daya: 1) daya gerak (quwwah muharrikah), berupa: makan (ghādiyah, nutrition), memelihara (murab-biyah,preservation), dan berkembang biak (muwallidah, reproduction); 2) daya mengetahui (quwwah mudrikah), berupa: merasa (hāssah, sensation) dan imajinasi (mutakhayyilah, imagination); dan 3) daya berpikir (al-quwwah al-nāthiqah, intellectual), berupa: akal praktis (‘aql ‘amalī) dan akal teoretis (‘aql nazharī). Dan al-‘aql al-nazharī terbagi pada 3 tingkatan: 1) al-‘aql al-hayūlānī (akal potensial, material intellect) yang mempunyai “potensi berpikir” dalam arti melepaskan arti-arti atau bentuk-bentuk (māhiyah) dari materinya; 2) al-‘aql bi al-fi’l (akal aktual, actual intellect) yang dapat melepaskan arti-arti (māhiyah) dari materinya dan arti-arti itu telah mempunyai wujud dalam akal yang sebenarnya (aktual), bukan lagi dalam bentuk potensial; 3) al-‘aql al-mustafād (akal pemerolehan, acquired intellect) yang sudah mampu menangkap bentuk murni (pure form) tanpa terikat pada materinya karena keberadaannya (pure form) tidak pernah menempati materi.[12]

Psikologi dan Pengetahuan Kenabian
Dalam pengobatan tentang jiwa manusia, al-Farabi menarik pada garis dasar Aristotelian, yang diinformasikan oleh komentar-komentar dari para pemikir kemudian Yunani. Dia mengatakan itu terdiri dari empat fakultas: Para selera (keinginan, atau keengganan untuk obyek rasa), yang sensitif (persepsi oleh indera substansi korporeal), yang imajinatif fakultas yang mempertahankan gambar objek yang masuk akal setelah mereka telah dirasakan, dan kemudian memisahkan dan menggabungkan mereka untuk sejumlah berakhir), dan rasional, yang merupakan fakultas pemikiran.[13]
Perhatian khusus harus diberikan untuk pengobatan al-Farabi fakultas imajinatif jiwa, yang penting untuk interpretasi pengetahuan kenabian dan kenabian. Selain kemampuannya untuk mempertahankan dan memanipulasi gambar objek masuk akal, ia memberikan imajinasi fungsi imitasi.
Nabi, di samping kapasitas intelektualnya sendiri, memiliki kemampuan imajinasi yang sangat kuat, yang memungkinkan dia untuk menerima limpahan dari kecerdasan inteligensi agen (kecerdasan kesepuluh dalam kosmologi emanational). Ini inteligensi ini kemudian terkait dengan simbol dan gambar, yang memungkinkan dia untuk berkomunikasi kebenaran abstrak dalam cara yang dapat dipahami oleh orang biasa. Oleh karena itu apa yang membuat unik adalah pengetahuan kenabian tidak puas, yang juga diakses melalui demonstrasi dan filsuf pemikiran, melainkan bentuk yang itu diberikan oleh imajinasi nabi. [14]
         
Filsafat Kenegaraan
Dalam hal filsafat kenegaraan, Al-Farabi membedakan menjadi lima macam:
a.         Negara Utama (al-madinah al-fadilah), yaitu negara yang penduduknya berada dalam kebahagiaan. Menurutnya negara terbaik adalah negara yang dipimpin oleh rasul dan kemudian oleh para filusuf;
b.        Negara orang-orang bodoh (al-madinah al-jahilah), yaitu negara yang penduduknya tidak mengenal kebahagiaan;
c.         Negara orang-orang fasik (al-madinah al-fasiqah), yakni negara yang penduduknya mengenal kebahagiaan, Tuhan dan akal seperti penduduk utama (Fa’alal-madinah al-fadilah), tetapi tingkah laku mereka sama dengan penduduk negeri yang bodoh;
d.        Negara yang berubah-ubah (al-madinah almutabaddilah), ialah negara yang penduduknya semula mempunyai pikiran dan pendapat seperti yang dimiliki negra utama, tetapi kemudian mengalami kerusakan;
e.         Negara sesat (al-madinah ad-dallah), yaitu negara yang penduduknya mempunyai konsepsi pemikiran yang salah tentang Tuhan dan akal Fa’al, tetapi kepala negaranya beranggapan bahwa dirinya mendapat wahyu dan kemudian ia menipu orang banyak dengan ucapan dan perbuatannya. [15]

Filsafat Praktis
Dalam Karyanya, Tahshil al-Sa’adah, al-Farabi memperlihatkan keidentikan real konseptual dari gagasan para filsuf, ahli hokum dan imam, dan mengklaim bahwa keragaman label religious dan filosofis hanyalah mencerminkan penekanan yeng berbeda atas aspek-aspek tertentu dari realitas yang sama. Ini berarti, dengan gaya Platonik yang bagus bahwa orang yang tidak berupaya menerapkan kesempurnan teoritisnya untuk pencarian praktis dan politik tidak dapat mengklaim dirinya sebagai filsuf : orang yang semacam itu menurut al-farabi adalah seorang filsug yang “sia-sia” atau gagal. [16]

Logika dan Filsafat Bahasa
Salah satu pokok dalam karya al-Farabi adalah menguraikan antara logika filsafat dengan tata bahasa umum. Hal ini kita bisa lihat di kitab al-Huruf dan Kitab al-Alfazh al-Musta’malah fi al-Mantiq.
Realitas historis masuknya filsafat ke dalam bahasa Arab dari suatu bahasa dan budaya asing , masuknya bahasa Yunani kuno dan munculnya kesulitan akibat kebutuhan akan kosa kata filsafat dalam bahasa Arab, menjadi isu penting bagi filsuf Arab awal, termasuk guru dan murid al-farabi sendiri. Jadi melalui karya logika al-FarabI menggambarkan salah satu usaha sistematis untuk menyelaraskan pendekatan-pendekatan yang saling berlawanan dalam studi bahasa.
Oleh karenanya, al-Farabi meletakkannya dalam suatu bagian karyanya yang terkenal Ihsha al-Ulum, engan menegaskan bahwa logika dan tata bahasa merupakan dua ilmu berdasarkan kaidah yang terpisah, masing-masing terletak di ruang lingkup permasalahannya sendiri.
Jadi benar apa yang dikatan oleh al Farabi bahwa, “Untuk menjadi filsuf yang betul-betul sempurna, seseorang harus memilki ilmu-ilmu teoritis dan daya untuk menggali ilmu-ilmu itu demi kemanfaatan orang lain sesuai dengan kapasitas mereka.” [17]

DAFTAR PUSTAKA

Athaif al-Iraqi, Muhammad. 1978.  Al-Falsafah al-Islamiya. Kairo: Dar al-Ma’arif.
Madkour, Ibrahim. 1963. Al-Farabi A History of Muslim Philosophy.  Wiesbaden: Otto Harrassowitz.
Nasution, Hasyimsyah. 2005. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Poerwantana, dkk. 1988. Seluk-beluk Filsafat Islam. Bandung: Rosdakarya.
Supriyadi, Dedi. 2009. Pengantar Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia.
http://dedekusn.wordpress.com/2009/12/22/al-farabi-biografi/
(diakses 14 Februari 2014).
http://abibaba7.blogspot.com/2009/04/biografi-singkat-al-farabi.html
(diakses 14 Februari 2014).
http://en.wikipedia.org/wiki/Al-Farabi
(diakses 14 Februari 2014).




[1] Dr. Hasyimsyah Nasution, MA. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005, Hlm. 1-2.
[2] Muhammad Athaif al-Iraqi, Al-Falsafah al-Islamiya, Kairo: Dar al-Ma’arif, 1978, Hlm. 19-20.
[3] Poerwantana, dkk, Seluk-beluk Filsafat Islam, Bandung: Rosdakarya, 1988, Hlm. 133.
[4] Dr. Hasyimsyah Nasution, MA. Ibid., Hlm. 32.
[5] Dedi Supriyadi, M.Ag. Pengantar Filsafat Islam, Bandung :Pustaka Setia, 2009, Hlm. 81.
[6] Ibid., Hlm. 83.
[7] Ibid., Hlm. 84.
[8] Ibrahim Madkour, Al-Farabi A History of Muslim Philosophy, Wiesbaden: Otto Harrassowitz, 1963, Hlm. 456.
[9]. Hasyimsyah Nasution, MA. Ibid., Hlm. 34.
[10] http://dedekusn.wordpress.com/2009/12/22/al-farabi-biografi/
[11] Dedi Supriyadi, M.Ag. Ibid., Hlm. 88-89.
[12] http://abibaba7.blogspot.com/2009/04/biografi-singkat-al-farabi.html
[13] http://en.wikipedia.org/wiki/Al-Farabi
[14] Hasyimsyah Nasution, MA. Ibid., Hlm.44.
[15] Dedi Supriyadi, M.Ag. Ibid., Hlm. 89-95.
[16] Ibid., Hlm. 96-97.
[17] Ibid., Hlm. 98-99.

1 komentar: