Kemajuan zaman modern
memberikan dampak tersendiri dalam kehidupan manusia. Ada bagian yang positif,
namun juga dampak negatif yang tidak kalah mendominasi. Bukan berarti kemajuan
zaman modern adalah sesuatu yang buruk, namun persepsi tiap individu menghadapi
hal seperti ini berbeda-beda. Hal itu menjadi semakin rumit karena tidak setiap
manusia mampu beradaptasi dengan baik dengan dunia modern. Akhirnya, muncullah
penyimpangan, kemerosotan dan ketidakpastian dalam menjalani hidup yang
mengakibatkan manusia semakin tidak bernilai.
Dalam merespon revolusi
industri, manusia pun terpecah-belah menjadi tiga golongan yang mengakibatkan
masalah tersendiri bagi tiap golongan. Namun sangat beruntung bagi umat manusia
–khususnya umat Islam- akhlak tasawuf datang dengan konsep yang rapi dan telah
teruji sebagai salah satu alternatif agar manusia mampu keluar dari kegalauan
dan penyimpangan itu.
Masyarakat modern terdiri dari dua kata, yaitu masyarakat
dan modern. Dalam Kamus Umum Bahasa
Indonesia, W.J.S. Poerwadarminta mengartikan masyarakat sebagai pergaulan
hidup manusia (himpunan orang yang hidup bersama di suatu tempat dengan
ikatan-ikatan aturan yang tentu).[1]
Sedangkan modern diartikan yang terbaru, secara baru, mutakhir.[2]
Dengan demikian secara harfiah masyarakat modern berarti suatu himpunan orang
yang hidup bersama di suatu tempat dengan ikatan-ikatan aturan tertentu yang
bersifat mutakhir.
Masyarakat modern selanjutnya sering disebutkan sebagai
lawan dari masyarakat tradisional. Deliat Noer misalnya menyebutkan cirri-ciri
modern sebagai berikut:
1. Bersifat rasional, yakni
lebih mengutamakan pendapat akal pikiran, daripada pendapat emosi. Sebelum
melakukan pekerjaan selalu dipertimbangkan lebih dahulu untung ruginya, dan
pekerjaan tersebut secara logika dipandang menguntungkan.
2.
Berpikir untuk masa depan
yang lebih jauh, tidak hanya memikirkan masalah yang bersifat sesaat, tetapi
selalu dilihat dampak sosialnya secara lebih jauh.
3.
Menghargai waktu, yaitu
selalu melihat bahwa waktu adalah sesuatu yang sangat berharga dan perlu dimanfaatkan
dengan sebaik-baiknya.
4.
Bersikap terbuka, yakni mau
menerima saran, masukan, baik berupa kritik, gagasan dan perbaikan dari manapun
datangnya.
5.
Berfikir objektif, yakni
melihat segala sesuatu dari sudut fungsi dan kegunaannya bagi masyarakat.[3]
Dalam pada itu, Alfin Toffler, sebagaimana yang dikemukakan
oleh Jalaludin Rahmat bahwa masyarakat itu terbagi menjadi tiga bagian. Pertama
masyarakat pertanian (agricultural
society), kedua masyarakat industry (industrial
society), dan ketiga masyarakat informasi (infomatical society). Ketiga masyarakat tersebut memuluki
cirri-ciri sebagai berikut.
Masyarakat pertanian mendasarkan ekonominya pada tanah atau
sumber alam. Mereka yang memiliki sawah, ladang, kebun, ternak dan lainnya di
pedesaan dianggap sebagai orang yang kaya raya. Teknologi yang mereka gunakan
adalah teknologi kecil seperti pompa penyemprot hama, racun tikut dan
sebagainya. Informasi yang mereka gunkan adalah media tradisional, dari mulut
ke mulut, bersifat lokal, dan informasi terpusat pada salah seorang yang
dianggap tokoh. Dari segi lingkungan sosial mereka menganut system keluarga
batih, keluarga yang didasarkan pada ikatan darh dan keturunan serta menetap
pada satu lokasi tertentu, dan bertempat di suatu wilayah yang tidak berpindah-pindah.
Dari segi kejiwaan mereka selalu berkomitmen dengan lingkungan dan suasana masa
lalu, banyak menggunakan kekuatan yang bersifat irrasional, seperti penanganan
masalah dengan cara pergi ke dukun, ahli nujum, orang yang dianggap sakti dan
sebagainya.
Masyarakat industri memiliki modal dasar yaitu peralatan
produksi, mesin-mesin pengolah bahan mentah menjadi barang atau makanan
yang siap konsumsi, teknologi yangdigunakan ialah teknologi tinggi, yang hemat
tenaga kerja, berskala besar dan bekerja secaraefektif dan efisien. Teknologi
yang mereka gunakan yaitu media cetak atau tulisan yang dapatdisimpan oleh
siapa saja., bersifat nasional dan terus berkembang. Keluarga yang mereka
anutyaitu keluarga inti, yakni orang tua, suami isteri, dan anak. Secara kejiwaan
manusia pada eraindustri yang diperlukan adalah manusia yang cerdas, berilmu
pengetahuan, menguasaiteknologi, dan memandang bahwa segala sesuatu hanya
terjadi jika mengikuti hukum alam.
Masyarakat informasi, dari segi teknologi,
ekonomi dan informasi lebih bersifat pasti. Dari segi ekonomi mulai bergeser
dari mengukur kekayaan dengan pemilikan sumber daya alamsebagai yang terdapat
pada masyarakat pertanian, atau pada alat produksi sebagai yang
terdapat pada masyarakat industri, bergeser pada mengukur kekayaan pada
pemilikan informasi. Dari segiteknologi, komputer mulai mengambil alih berbagai
profesi pada zaman industri.
Masyarakat informasi berperan pada perubahan
sistem informasi. Penggunaan teknologi elektronika telah mengubah lingkungan informasi
dari lingkungan yang bercorak lokal dannasional, kepada lingkungan yang
bersifat internasional, menudnia dan global. Komputer bukan saja sanggup
menyimpan informasi dari seluruh dunia, tetpi juga sanggup mengolahnya
danmenghasilkan secara lisan, tulisan bahkan secara visual.
Pembahasan
tersebut telah menginformasikan cukup komprehensif tentang gelombang kehidupan
umat manusia yang terjadi dalam masyarakat. Namun demikian pembagian masyarakat
ini dalam kenyataannya tidak dapat dilakukan secara terkotak-kotak. Ada
suatumasyarakat yang tinggal di daerah perkotaan yang beriklim masyarakat
industri dan informasi,tetapi sistem agrikultural yang ciri-cirinya telah
disebutkan di atas. Dalam keadaan demikian maka terjadilah kesenjangan antara
lingkungan sosial yang dihadapi dengan sikap jiwa yang masih dialaminya.
Terjadinya
perubahan masyarakat dari yang bercorak agrikultural dan industri menjadi
masyarakat yang bercorak informasi secara teoritis disebabkan oleh banyak
faktor. Astrid S. Susanto, antara lain menjelaskan hal ini dengan mengatakan,
bahwa sebab-sebab dari timbulnya perubahan masyarakat adalah banyak, yaitu
antara lain karena majunya ilmu pengetahuan,mental manusia, teknik dan
penggunaanya dalam masyarakat, komunikasi dan transportasi, urbanisasi, perubahan-perubahan
pertambahan harapan dan tuntutan manusia (the rising demand). Semuanya ini
mempunyai pengaruh bersama dan mempunyai akibat bersama dalammasyarakat, yaitu
perubahan di dalam masyarakat secara mengagetkan, dan inilah yangkemudian
menimbulkan perubahan masyarakat.[4]
Itulah model perkembangan masyarakat yangakan dan sedang kita jalani saat ini.
“Revolusi Teknologi” dengan meningkatkan
kontrol kita pada materi, ruang dan waktu, menimbulkan evolusi ekonomi, gaya hidup,
pola pikir dan sistem rujukan. Dalam kaitan ini terdapat tiga keadaan dalam
mensikapi revolusi industri, yaitu kelompok yang optimis, pesimisdan
pertengahan antara keduanya. Bagi kelompok yang optimis kehadiran revolusi
teknologi justru menguntungkan, seperti yang diperlihatkan Ziauddin Sardar.
Menurutnya revolusi informasi yang kini sedang dijajakan sebagai suatu rahmat
besar bagi umat manusia. Penjajanya yang agresif di televisi, surat-surat kabar
dan majalah-majalah yang mewah begitu menarik. Padalingkungan-lingkuingan yang
terpelajar, yatu di dalam jurnal-jurnal penelitian dan buku-buku akademis,
disebutkan bahwa revolusi informasi akan menyebabkan timbulnya desentralisasi,
dankarena itu akan menyebabkan timbulnya masyarakat yang lebih demokratisí telah
meningkatkan keragaman budaya melalui penyediaan informasi yang menyeluruh yang
sesuai dengan keragaman selera dan kemampuan ekonomi, memberi orang kesempatan
untuk mengembangkan kecakapan-kecakapan baru, meningkatkan produksi dan dengan
demikian menciptakan kemakmuran untuk semua lapisan masyarakat.[5]
Bagi
kelompok yang pesimis memandang kemajuan di bidang teknologi akanmemberikan
dampak yang negatif, karena hanya memberikan kesempatan dan peluang kepada
orang-orang yang dapat bersaing saja, yaitu mereka yang memiliki kekuasaan,
ekonomi,kesempatan, kecerdasan dan lain-lain. Sementara bagi mereka yang
terbelakang tetap semakin terbelakang. Penggunaan teknologi di bidang pertanian
misalnya akan menyebabkan keuntungan bagi petani yang memiliki modal saja,
sedangkan bagi yang tidak memiliki modal akan menghadapi masalah yang serius.
Lapangan kerja yang selama ini banyak menyerap tenaga kerja, sudah mulai
ditangani oleh teknologi hemat tenaga kerja, akibatnya terjadilah pengangguran.
Teknologi
juga berbahaya jika berada di tangan orang yang secara mental dan keyakinan keagamaan
belum siap. Penggunaan teknologi kontrasepsi misalnya dapat menyebabkan orang dengan
mudah dapat melakukan hubungan seksual tanpa harus takut hamil atau berdosa. Di
bidang rekayasa genetika, melalui apa yang disebut bayi tabung, dapat mendorong
manusia memproduksi manusia untuk dijual belikan sebagaimana buah-buahan, atau
binatang. Di bidang persenjataan menyebabkan orang berbisnis dalam
persenjataan, dan untuk melancarkan bisnis ini maka diciptakan situasi yang
terus menerus konflik dan mencekam, yang pada akhirnya memerlukan pembelian
senjata untuk memperthankan daya dan kelangsungan hidupnya. Keadaan ini terus
berlanjut hingga dunia tak pernah aman.
Banyak
negara yang sudah memiliki senjata-senjata biokimia yang dahsyat seperti virus yang
dapat mengubah kota ramai menjadi kumpulan bangkai, atau spesies baru yang
dapat menghancurkan ribuan hektar padi dalam sehari. Untuk menaklukkan suatu
negara atau kota, cukuplah orang memasukkan 500 gram LSD 25 dalam pusat air
minum, dan seluruh penduduk menjadi gila.[6]
Di
bidang teknologi komunikasi seperti komputer, faximile, internet, dan
sebagainya juga akan membuka peluang bagi orang untuk lebih meningkatkan
aktivitas jahatnya dalam bentuk yang lebih canggih. Jaringan-jaringan peredaran
obat-obat terlarang, tukar-menukar informasi, penyaluran data film yang berbau
pornografi dan sebagainya akan semakin intensif
pelaksanaannya.
Setelah
mengajukan sejumlah kekhawatiran dari dampak teknologi ini, maka kaum yang
pesimistis ini mengajukan pertanyaan: Bolehkah ilmu pengetahuan dan teknologi
yang netraletika itu terus dikembangkan? Bukankah sebaiknya dibatasi
penggunaannya? Dan kapankah datangnya saat dimana manusia itu siap menerima
kehaditan iptek?
Sementara
pertanyaan tersebut[7]
belum terjawab, muncul pula persoalan baru. Saat ini para ilmuwan sosial telah
mencapai pula teknik-teknik pengendalian manusia melalui teori-teori motivasi,
proses persuasi dan ketaksadaran manusia. Pengetahuan mereka telah dimanfaatkan
oleh produsen untuk menyeret jutaan manusia kepada pola konsumtif yang
irasional, kepada apa yang disebut oleh Reinhold Neibuhr sebagai perbudakan
proses produksi.
Sementara
itu bagi kelompok yang mengambil sikap antara optimis dan pesimis mengatakan,
bahwa iptek itu positif atau membahayakan, inflasi dan pertumbuhan, tergantung
pada cara orang mengelolanya, tanpa harus ditangguhkan, dan demi kepentingan
kerja sama dan perdamaian. Sosiolog Perancis Jacques Ellul mengatakan bahwa
kemajuan dalam bidang iptek akan memberi pengaruh sebagai berikut:
1. Semua
kemajuan teknologi menuntut pengorbanan, yakni dari sisi teknologi memberinilai
tambah, tapi pada sisi lain dapat mengurangi.
2. Nilai-nilai
manusia yang tradisional, misalnya harus dikorbankan demi efisiensi.
3. Semua
kemajuan teknologi lebih banyak menimbulkan masalah ketimbang pemecahannya.
4. Efek
negatif teknologi tidak dapat dipisahkan dari efek positifnya. Teknologi
tidak pernah netral. Efek negatif dan
positif terjadi serentak dan tidak terpisahkan.
5. Semua
penemuan teknologi mempunyai efek yang tidak terduga.
Kehadiran
ilmu pengetahuan dan teknologi telah melahirkan sejumlah problematika masyarakat
modern sebagai berikut:
1.
Disintegrasi Ilmu Pengetahuan
Kehidupan
modern antara lain ditandai dengan spesialisasi di bidang ilmu pengetahuan.
masing-masing ilmu pengetahuan memiliki paradigmanya sendiri-sendiri dalam
memecahkan masalah yang dihadapi. Kalau semuanya berjalan sendiri-sendiri tanpa
ada tali pengikat dan petunjuk jalan yang menguasai semuanya, yang terjadi
adalah kian jauhnya manusia dari pengetahuan (kearifan) akan kesatuan alam.
Penggalian disiplin di atas bisa jadi malah mendatangkan benturan-benturan
antara yang satu dan yang lain, karena mereka telah menjeratdirinya pada
rasionalitas teknologis secara absolut, netral nilai keagamaan tapi sarat nafsu
penaklukan.
2.
Kepribadian yang Terpecah (Split
personality)
Karena
kehidupan manusia modern dipolakan oleh ilmu pengetahuan yang coraknya kering
nilai-nilai spiritual dan terkotak-kotak itu, maka manusianya menjadi pribadi
yang terpecah kehidupan manusia modern diatur menurut ilmu yang eksak dan
kering. akibatnya kinitelah menggelinding proses hilangnya kekayaan rohaniah,
karena dibiarkannya ilmu-ilmu positif (ilmu yang hanya mengandalkan fakta-fakta
empirik, obyektif, rasional, dan terbatas) dan ilmu-ilmu sosial. Kita sama
sekali tidak meremehkan atau tidak menghargai jasa yang diberikan ilmu
pengetahuan eksak dan sosial, tetapi, yang kita inginankan agar ilmu-ilmu
tersebut diintergerasikan antara satu dan yang lainnya melalui tali pengikat,
yaitu ajaran agama dari Tuhan, sehingga seluruh ilmu itu diarahkan pada tujuan
memuliakan manusia, mengabdikan dirinya pada Tuhan, berakhlak mulia dan
seterusnya.
3. Penyalahgunaan
Iptek
Sebagai
akibat dari terlepasnya ilmu pengetahuan dan teknologi dari iakatan spiritual,
maka iptek telah disalah gunakan dengan segala implikasi negatifnya sebagaimana
disebutkan diatas. Kemampuan membuat senjata telah diarahkan untuk tujuan
penjajahan suatu bangsa atas bangsa lain, subversi dan lain sebagainya.
Kemampuan di bidang rekayasa genetika diarahkan untuk tujuan jual-beli manusia.
4. Pendangkalan
Iman
Akibat
lain dari pola pikiran keilmuan tersebut di atas, khususnya ilmu yang hanya
bersifat empirik menyebabkan manusia dangkal imannya. Ia tidak tersentuh
informasi yangdiberikan wahyu, bahkan informasi yang diberikan wahyu itu
menjadi bahan tertawaan dandianggap tidak ilmiah dan kampungan.
5. Pola
Hubungan Materialistik
Semangat
persaudaraan dan rasa saling gotong royong yang didasarkan iman sudah tidak
nampak lagi, karena imannya sudah dangkal. Pola hubungan satu dan lainnya
ditentukan oleh seberapa jauh dapat memberikan keuntungan yang bersifat
material. Demikian juga penghormatan yang diberikan atas orang lain banyak
diukur oleh sejauh mana orang tersebut dapat memberikan manfaat secara
material. Akibatnya ia menempatkan pertimbangan material diatas pertimbangan
akal sehat, hati nurani, kemanusiaan dan imannya.
6. Menghalalkan
Segala Cara
Sebagai
akibat lebih jauh dari dangkalnya iman dan pola hidup materialistik,
makamanusia dengan mudah dapat menggunakan prinsip menghalalkan segala cara
dalam mencapaitujuan. Jika hal ini terjadi maka terjadilah kerusakan akhlak
dalam segala bidang, baik ekonomi, politik, sosial, dan lain sebagainya.
7. Stres
dan Frustasi
Kehidupan
modern yang demikian kompetitif menyebabkan manusia harus mengerahkan seluruh
pikiran, tenaga dan kemampuan. Mereka terus bekerja dan bekerja tanpa mengenal
batasdan kepuasan. Hasil yang dicapai tak pernah disyukurinya dan selalu merasa
kurang. Apalagi jika usaha atau proyeknya gagal, maka dengan mudah ia
kehilangan pegangan, karena tidak lagi memiliki pegangan yang kokoh yang
berasal dari Tuhan. Mereka hanya berpegang atau bertuhan pada hal-hal yang
bersifat material yang sama sekali tidak dapat membimbingnya. Akibatnya iastres
dan frustasi yang jika hal ini terus berlanjut akan menjadikan ia gila atau
hilang ingatan.
8. Kehilangan
Harga Diri dan Masa Depannya
Terdapat
sejumlah orang yang terjerumus atau salah memilih jalan kehidupan. Masa mudanya
dihabiskan untuk memperturutkan hawa nafsu dan segala daya dan cara telah
ditempuhnya. Namun ada suatu saat dimana ia sudah tua renta, fisiknya sudah
tidak berdaya, tenaganya sudah tidak mendukung dan berbagai kegiatan sudah
tidak dapat ia lakukan. Manusia yang demikian ini merasa kehilangan harga diri
dan masa depannya, kemana ia harus berjalan, ia tidak tahu. Mereka perlu
bantuan dari kekuatan yang berada diluar dirinya, yaitu bantuan Tuhan.
Banyak
cara yang diajukan para ahli untuk mengatasi masalah tersebut, dan salah satu
cara yang hampir disepakati para ahli ialah dengan mengembangkan kehidupan yang
beraklak dan bertasawuf. Menurut Husein Nahr, paham sufisme mulai mendapat
tempat di kalangan orang masyarakat termasuk kalangan barat, karena mereka
mulai merasakan kekeringan batin. Mereka mulai mencari-cari dimana sufisme yang
dapat menjawab sejumlah masalah tersebut di atas.
Menurut
Komaruddin Hidayat terdapat tiga tujuan perlunya sufisme dimasyarakatkan pada
mereka. Pertama, turut serta terlibat dalam berbagai peran dalam menyelamatkan
kemanusiaan dari kondisi kebingungan akibat hilangnya nilai-nilai
spiritual. Kedua, memperkenalkan
literatur atau pemahaman tentang aspek esoteris (kebatinan islam), baik
terhadap masyarakat islam yang mulai melupakan maupun non Islam, khususnya
terhadap masyarakat barat. Dalam hal ini Nashr menegaskan “tarikat” atau “jalan
rohani” yang biasa dikenal sebagai tasawuf atau sufisme adalah merupakan
dimensi kedalaman dan kerahasiaan (esoteric) dalam islam, sebagaimana syariat
berasal dari Al-Quran dan Al-Sunnah. Ia menjadi jiwa risalah islam, seperti
hati yang ada pada tubuh, tersembunyi jauh dari pandangan luar. Betatpapun ia
tetap merupakan sumber kehidupan yang paling dalam, yang mengatur seluruh
organisme keagamaan dalam islam.[8]
Intisari
ajaran tasawuf adalah bertujuan memperoleh hubungan langsung dan disadari
dengan Tuhan, sehingga seseorang merasa dengan kesadarannya itu berada di
hadirat-Nya. Upaya ini antara lain dilakukan dengan kontemplasi, melepaskan
diri dari jeratan dunia yang senantiasa berubah dan bersifat sementara. Sifat
dan pandangan sifistik ini sangat diperlukan oleh masyarakat modern yang
mengalami jiwa yang terpecah, asalkan pandangan terhadap tujuan hidup tasawuf
tidak dilakukan secara ekslusif dan individual, melaikan berdaya implikatif
dalam meresponi berbagai masalah yang dihadapi.
Dengan
adanya bantuan tasawuf ini maka ilmu pengetahuan satu dan lainnya tidak akan
bertabrakan, karena ia berada dalam satu jalan dan satu tujuan. Hubungan ilmu
dan ketuhanan yang diajarkan agama jelas sekali. Ilmu mempercepat anda sampai
ke tujuan, agama menentukan arah yang dituju. Ilmu menyesuaikan manusia dengan
lingkungannya, dan agama menyesuaikan dengan jati dirinya. Ilmu menjawab
pertanyaan yang dimulai dengan “bagaimana” dan agama menjawab pertanyaan yang
diawali dengan “mengapa”. Ilmu tidak jarang mengeluarkan pikiran pemiliknya,
sedangkan agama menenangkan jiwa pemeluknya yang tulus.[9]
Selanjutnya
sikap frustasi bahkan hilang ingatan alias gila dapat diatasi dengan sikap
ridla yang diajarkan dalam tasawuf, yaitu selalu pasrah dan menerima terhadap
segala keputusan Tuhan. Ia menyadari bahwa Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu
adalah Tuhan. Sikap yang demikian itu diperlukan untuk mengatasi frustasi dan
sebagainya.
Sikap
materialistik dan hedonistik yang merajalela dalam kehidupan modern ini dapat
diatasi dengan menerapkan konsep zuhud, yang pada intinya sikap yang tidak mau
diperbudak atau terperangkap oleh pengaruh duniawi. Jika sikap ini telah
mantap, maka ia tidak akan berani menggunakan segala cara untuk mencapai
tujuan. Sebab tujuan yang ingin dicapai dalam tasawuf adalah menuju Tuhan, maka
caranyapun harus ditempuh dengan cara yang disukai Tuhan.
Demikian
juga ajaran uzlah, yaitu usaha mengasingkan diri dari terperangkap tipu daya
keduniaan, dapat pula digunakan untuk membekali manusia modern agar tidak
menjadi sekruft dari mesin kehidupan, yang tidak tahu lagi arahnya mau dibawa
kemana. Konsep ini berusaha membebaskan
manusia dari perangkap-perangkap kehidupan yang memperbudaknya. Ini tidak berarti seseorang harus menjadi pertapa. Ia
tetap terlihat dalam berbagai kehidupan itu, tetapi ia tetap mengendalikan
aktivitasnya sesuai dengan nilai-nilai ketuhanan, dan bukan sebaliknya
larutdalam pengaruh keduniaan.
Di
balik kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, dunia modern sesungguhnya
menyimpan suatu potensi yang dapat menghancurkan martabat manusia.[10]
Untuk menyelamatkannya perlu tasawuf yang wujud konkretnya dalam akhlak yang
mulia. Menurut jalaluddin Rahmat, sekarang ini di seluruh dunia timbul
kesadaran betapa pentingnya memperhatikan etika dalam pengembangan sains. Di
beberapa negara maju telah didirikan lembaga-lembaga “pengawal moral” untuk
sains. Yang paling terkenal ialah The Institut of Society, Etics and Life
Science di Hasting New York. Kini telah disadari, seperti kata Sir Mac Farlance
Burnet, biolog Australia, bahwa: “sulit bagi seorang ilmuwan eksperimental
mengetahui apa yang tidak boleh diketahui. Ternyata, sains tidak bisa dibiarkan
lepas dari etika, kalau kita tidak ingin senjata makan tuan.”[11]
Terakhir
problema masyarakat modern di atas adalah manusia yang kehilangan masadepannya,
merasa kesunyian dan kehampaan jiwa di tengah-tengah derunya laju kehidupan.Untuk
ini ajaran akhlak tasawuf yang berkenaan dengan ibadah, zikir, taubat dan
berdoa menjadi penting, sehingga ia tetap mempunyai harapan, yaitu bahagia
hidup di akhirat nanti. Bagi orang-orang yang sudah lanjut usia yang dahulu
banyak menyimpang hidupnya, akan terus dibayangi perasaan dosa, jika tidak
segera bertaubat. Tasawuf akhlak memberi kesempatan bagi penyelamatan manusia
yang demikian. Itu penting dilakukan agar ia tidak terperangkap ke dalam
praktek kehidupan spiritual yang menyesatkan, sebagaimana yang akhir-akhir ini
banyak berkembang di masyarakat.
Itulah
sumbangan positif yang dapat digali dan dikembangkan dari ajaran tasawuf
akhlak. Untuk itu, dalam mengatasi problematika masyarakat modern saat ini,
akhlak tasawuf harus dijadikan alternatif terpenting. Ajaran akhlak tasawuf
perlu disuntikkan ke dalam seluruh konsep kehidupan. Ilmu pengetahuan, ekonomi,
sosial, polotik, kebudayaan dan lain sebagainya perlu dilandasi ajaran akhlak
tasawuf. Dan inilah harapan kita.
DAFTAR PUSTAKA
Kuntowijoyo. 1991. Paradigma Islam Interprestasi unutk Aksi, Bandung: Mizan.
Nashr, Husein. 1985. Tasawuf Dulu dan Sekarang, (terj.) Abdul Hadi W.M., dari judul
asli, Living Sufisme. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Noer, Deliar. 1987. Pembangunan di Indonesia. Jakarta: Mutiara.
Poerwadarminta, W.J.S. 1991. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka.
Rahmat, Jalaluddin. 1991. Islam Alternatif. Bandung: Mizan.
Shihab, Quraish. 1996. Wawasan al-Quran.
Bandung: Mizan.
Susanto, Astrid S. 1979. Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial. Bandung: Bina Cipta.
[1]W.J.S.
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa
Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), cet. XIII, hlm. 636.
[2]Ibid., hlm. 653.
[3]Deliar Noer,
Pembangunan di Indonesia, (Jakarta:
Mutiara, 1987), hlm. 24.
[4]Astrid S.
Susanto, Pengantar Sosiologi dan
Perubahan Sosial, (Bandung: Bina Cipta, 1979), cet.II, hlm.178.
[5]Ibid., hlm. 44
[6]Jalaluddin
Rahmat, Islam Alternatif, (Bandung:
Mizan, 1991), cet.IV, hlm.157.
[7]Ibid., hlm.157.
[8]Husein
Nashr, Tasawuf Dulu dan Sekarang,
(terj.) Abdul Hadi W.M., dari judul asli, Living Sufisme, (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1985), cet.I, hlm.181; Lihat pula,
Ideals and Realities of Islam,
hlm.121
[9]M. Quraish
Shihab, Wawasan al-Quran, (Bandung:
Mizan, 1996), cet.III, hlm.376-377.
[10]Kuntowijoyo,
Paradigma Islam Interprestasi unutk Aksi,
(Bandung: Mizan, 1991), cet.I, hlm.159.
[11]Jalaluddin
Rahmat, op. cit., hlm.158
Tidak ada komentar:
Posting Komentar