Sabtu, 28 Desember 2013

Problematika Masyarakat Modern dan Pentingnya Akhlak Tasawuf

Kemajuan zaman modern memberikan dampak tersendiri dalam kehidupan manusia. Ada bagian yang positif, namun juga dampak negatif yang tidak kalah mendominasi. Bukan berarti kemajuan zaman modern adalah sesuatu yang buruk, namun persepsi tiap individu menghadapi hal seperti ini berbeda-beda. Hal itu menjadi semakin rumit karena tidak setiap manusia mampu beradaptasi dengan baik dengan dunia modern. Akhirnya, muncullah penyimpangan, kemerosotan dan ketidakpastian dalam menjalani hidup yang mengakibatkan manusia semakin tidak bernilai.
Dalam merespon revolusi industri, manusia pun terpecah-belah menjadi tiga golongan yang mengakibatkan masalah tersendiri bagi tiap golongan. Namun sangat beruntung bagi umat manusia –khususnya umat Islam- akhlak tasawuf datang dengan konsep yang rapi dan telah teruji sebagai salah satu alternatif agar manusia mampu keluar dari kegalauan dan penyimpangan itu. 
Masyarakat modern terdiri dari dua kata, yaitu masyarakat dan modern. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, W.J.S. Poerwadarminta mengartikan masyarakat sebagai pergaulan hidup manusia (himpunan orang yang hidup bersama di suatu tempat dengan ikatan-ikatan aturan yang tentu).[1] Sedangkan modern diartikan yang terbaru, secara baru, mutakhir.[2] Dengan demikian secara harfiah masyarakat modern berarti suatu himpunan orang yang hidup bersama di suatu tempat dengan ikatan-ikatan aturan tertentu yang bersifat mutakhir.
Masyarakat modern selanjutnya sering disebutkan sebagai lawan dari masyarakat tradisional. Deliat Noer misalnya menyebutkan cirri-ciri modern sebagai berikut:
1.   Bersifat rasional, yakni lebih mengutamakan pendapat akal pikiran, daripada pendapat emosi. Sebelum melakukan pekerjaan selalu dipertimbangkan lebih dahulu untung ruginya, dan pekerjaan tersebut secara logika dipandang menguntungkan.
2.      Berpikir untuk masa depan yang lebih jauh, tidak hanya memikirkan masalah yang bersifat sesaat, tetapi selalu dilihat dampak sosialnya secara lebih jauh.
3.      Menghargai waktu, yaitu selalu melihat bahwa waktu adalah sesuatu yang sangat berharga dan perlu dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
4.      Bersikap terbuka, yakni mau menerima saran, masukan, baik berupa kritik, gagasan dan perbaikan dari manapun datangnya.
5.      Berfikir objektif, yakni melihat segala sesuatu dari sudut fungsi dan kegunaannya bagi masyarakat.[3]
Dalam pada itu, Alfin Toffler, sebagaimana yang dikemukakan oleh Jalaludin Rahmat bahwa masyarakat itu terbagi menjadi tiga bagian. Pertama masyarakat pertanian (agricultural society), kedua masyarakat industry (industrial society), dan ketiga masyarakat informasi (infomatical society). Ketiga masyarakat tersebut memuluki cirri-ciri sebagai berikut.
Masyarakat pertanian mendasarkan ekonominya pada tanah atau sumber alam. Mereka yang memiliki sawah, ladang, kebun, ternak dan lainnya di pedesaan dianggap sebagai orang yang kaya raya. Teknologi yang mereka gunakan adalah teknologi kecil seperti pompa penyemprot hama, racun tikut dan sebagainya. Informasi yang mereka gunkan adalah media tradisional, dari mulut ke mulut, bersifat lokal, dan informasi terpusat pada salah seorang yang dianggap tokoh. Dari segi lingkungan sosial mereka menganut system keluarga batih, keluarga yang didasarkan pada ikatan darh dan keturunan serta menetap pada satu lokasi tertentu, dan bertempat di suatu wilayah yang tidak berpindah-pindah. Dari segi kejiwaan mereka selalu berkomitmen dengan lingkungan dan suasana masa lalu, banyak menggunakan kekuatan yang bersifat irrasional, seperti penanganan masalah dengan cara pergi ke dukun, ahli nujum, orang yang dianggap sakti dan sebagainya.
Masyarakat industri memiliki modal dasar yaitu peralatan produksi, mesin-mesin pengolah bahan mentah menjadi barang atau makanan yang siap konsumsi, teknologi yangdigunakan ialah teknologi tinggi, yang hemat tenaga kerja, berskala besar dan bekerja secaraefektif dan efisien. Teknologi yang mereka gunakan yaitu media cetak atau tulisan yang dapatdisimpan oleh siapa saja., bersifat nasional dan terus berkembang. Keluarga yang mereka anutyaitu keluarga inti, yakni orang tua, suami isteri, dan anak. Secara kejiwaan manusia pada eraindustri yang diperlukan adalah manusia yang cerdas, berilmu pengetahuan, menguasaiteknologi, dan memandang bahwa segala sesuatu hanya terjadi jika mengikuti hukum alam.
Masyarakat informasi, dari segi teknologi, ekonomi dan informasi lebih bersifat pasti. Dari segi ekonomi mulai bergeser dari mengukur kekayaan dengan pemilikan sumber daya alamsebagai yang terdapat pada masyarakat pertanian, atau pada alat produksi sebagai yang terdapat pada masyarakat industri, bergeser pada mengukur kekayaan pada pemilikan informasi. Dari segiteknologi, komputer mulai mengambil alih berbagai profesi pada zaman industri.
Masyarakat informasi berperan pada perubahan sistem informasi. Penggunaan teknologi elektronika telah mengubah lingkungan informasi dari lingkungan yang bercorak lokal dannasional, kepada lingkungan yang bersifat internasional, menudnia dan global. Komputer bukan saja sanggup menyimpan informasi dari seluruh dunia, tetpi juga sanggup mengolahnya danmenghasilkan secara lisan, tulisan bahkan secara visual.
Pembahasan tersebut telah menginformasikan cukup komprehensif tentang gelombang kehidupan umat manusia yang terjadi dalam masyarakat. Namun demikian pembagian masyarakat ini dalam kenyataannya tidak dapat dilakukan secara terkotak-kotak. Ada suatumasyarakat yang tinggal di daerah perkotaan yang beriklim masyarakat industri dan informasi,tetapi sistem agrikultural yang ciri-cirinya telah disebutkan di atas. Dalam keadaan demikian maka terjadilah kesenjangan antara lingkungan sosial yang dihadapi dengan sikap jiwa yang masih dialaminya.
Terjadinya perubahan masyarakat dari yang bercorak agrikultural dan industri menjadi masyarakat yang bercorak informasi secara teoritis disebabkan oleh banyak faktor. Astrid S. Susanto, antara lain menjelaskan hal ini dengan mengatakan, bahwa sebab-sebab dari timbulnya perubahan masyarakat adalah banyak, yaitu antara lain karena majunya ilmu pengetahuan,mental manusia, teknik dan penggunaanya dalam masyarakat, komunikasi dan transportasi, urbanisasi, perubahan-perubahan pertambahan harapan dan tuntutan manusia (the rising demand). Semuanya ini mempunyai pengaruh bersama dan mempunyai akibat bersama dalammasyarakat, yaitu perubahan di dalam masyarakat secara mengagetkan, dan inilah yangkemudian menimbulkan perubahan masyarakat.[4] Itulah model perkembangan masyarakat yangakan dan sedang kita jalani saat ini.
 “Revolusi Teknologi” dengan meningkatkan kontrol kita pada materi, ruang dan waktu, menimbulkan evolusi ekonomi, gaya hidup, pola pikir dan sistem rujukan. Dalam kaitan ini terdapat tiga keadaan dalam mensikapi revolusi industri, yaitu kelompok yang optimis, pesimisdan pertengahan antara keduanya. Bagi kelompok yang optimis kehadiran revolusi teknologi justru menguntungkan, seperti yang diperlihatkan Ziauddin Sardar. Menurutnya revolusi informasi yang kini sedang dijajakan sebagai suatu rahmat besar bagi umat manusia. Penjajanya yang agresif di televisi, surat-surat kabar dan majalah-majalah yang mewah begitu menarik. Padalingkungan-lingkuingan yang terpelajar, yatu di dalam jurnal-jurnal penelitian dan buku-buku akademis, disebutkan bahwa revolusi informasi akan menyebabkan timbulnya desentralisasi, dankarena itu akan menyebabkan timbulnya masyarakat yang lebih demokratisí telah meningkatkan keragaman budaya melalui penyediaan informasi yang menyeluruh yang sesuai dengan keragaman selera dan kemampuan ekonomi, memberi orang kesempatan untuk mengembangkan kecakapan-kecakapan baru, meningkatkan produksi dan dengan demikian menciptakan kemakmuran untuk semua lapisan masyarakat.[5]
Bagi kelompok yang pesimis memandang kemajuan di bidang teknologi akanmemberikan dampak yang negatif, karena hanya memberikan kesempatan dan peluang kepada orang-orang yang dapat bersaing saja, yaitu mereka yang memiliki kekuasaan, ekonomi,kesempatan, kecerdasan dan lain-lain. Sementara bagi mereka yang terbelakang tetap semakin terbelakang. Penggunaan teknologi di bidang pertanian misalnya akan menyebabkan keuntungan bagi petani yang memiliki modal saja, sedangkan bagi yang tidak memiliki modal akan menghadapi masalah yang serius. Lapangan kerja yang selama ini banyak menyerap tenaga kerja, sudah mulai ditangani oleh teknologi hemat tenaga kerja, akibatnya terjadilah pengangguran.
Teknologi juga berbahaya jika berada di tangan orang yang secara mental dan keyakinan keagamaan belum siap. Penggunaan teknologi kontrasepsi misalnya dapat menyebabkan orang dengan mudah dapat melakukan hubungan seksual tanpa harus takut hamil atau berdosa. Di bidang rekayasa genetika, melalui apa yang disebut bayi tabung, dapat mendorong manusia memproduksi manusia untuk dijual belikan sebagaimana buah-buahan, atau binatang. Di bidang persenjataan menyebabkan orang berbisnis dalam persenjataan, dan untuk melancarkan bisnis ini maka diciptakan situasi yang terus menerus konflik dan mencekam, yang pada akhirnya memerlukan pembelian senjata untuk memperthankan daya dan kelangsungan hidupnya. Keadaan ini terus berlanjut hingga dunia tak pernah aman.
Banyak negara yang sudah memiliki senjata-senjata biokimia yang dahsyat seperti virus yang dapat mengubah kota ramai menjadi kumpulan bangkai, atau spesies baru yang dapat menghancurkan ribuan hektar padi dalam sehari. Untuk menaklukkan suatu negara atau kota, cukuplah orang memasukkan 500 gram LSD 25 dalam pusat air minum, dan seluruh penduduk menjadi gila.[6]
Di bidang teknologi komunikasi seperti komputer, faximile, internet, dan sebagainya juga akan membuka peluang bagi orang untuk lebih meningkatkan aktivitas jahatnya dalam bentuk yang lebih canggih. Jaringan-jaringan peredaran obat-obat terlarang, tukar-menukar informasi, penyaluran data film yang berbau pornografi dan sebagainya akan semakin intensif  pelaksanaannya.
Setelah mengajukan sejumlah kekhawatiran dari dampak teknologi ini, maka kaum yang pesimistis ini mengajukan pertanyaan: Bolehkah ilmu pengetahuan dan teknologi yang netraletika itu terus dikembangkan? Bukankah sebaiknya dibatasi penggunaannya? Dan kapankah datangnya saat dimana manusia itu siap menerima kehaditan iptek?
Sementara pertanyaan tersebut[7] belum terjawab, muncul pula persoalan baru. Saat ini para ilmuwan sosial telah mencapai pula teknik-teknik pengendalian manusia melalui teori-teori motivasi, proses persuasi dan ketaksadaran manusia. Pengetahuan mereka telah dimanfaatkan oleh produsen untuk menyeret jutaan manusia kepada pola konsumtif yang irasional, kepada apa yang disebut oleh Reinhold Neibuhr sebagai perbudakan proses produksi.
Sementara itu bagi kelompok yang mengambil sikap antara optimis dan pesimis mengatakan, bahwa iptek itu positif atau membahayakan, inflasi dan pertumbuhan, tergantung pada cara orang mengelolanya, tanpa harus ditangguhkan, dan demi kepentingan kerja sama dan perdamaian. Sosiolog Perancis Jacques Ellul mengatakan bahwa kemajuan dalam bidang iptek akan memberi pengaruh sebagai berikut:
1.     Semua kemajuan teknologi menuntut pengorbanan, yakni dari sisi teknologi memberinilai tambah, tapi pada sisi lain dapat mengurangi.
2.      Nilai-nilai manusia yang tradisional, misalnya harus dikorbankan demi efisiensi.
3.      Semua kemajuan teknologi lebih banyak menimbulkan masalah ketimbang pemecahannya.
4.   Efek negatif teknologi tidak dapat dipisahkan dari efek positifnya. Teknologi tidak  pernah netral. Efek negatif dan positif terjadi serentak dan tidak terpisahkan.
5.      Semua penemuan teknologi mempunyai efek yang tidak terduga.
Kehadiran ilmu pengetahuan dan teknologi telah melahirkan sejumlah problematika masyarakat modern sebagai berikut:
1.      Disintegrasi Ilmu Pengetahuan
Kehidupan modern antara lain ditandai dengan spesialisasi di bidang ilmu pengetahuan. masing-masing ilmu pengetahuan memiliki paradigmanya sendiri-sendiri dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Kalau semuanya berjalan sendiri-sendiri tanpa ada tali pengikat dan petunjuk jalan yang menguasai semuanya, yang terjadi adalah kian jauhnya manusia dari pengetahuan (kearifan) akan kesatuan alam. Penggalian disiplin di atas bisa jadi malah mendatangkan benturan-benturan antara yang satu dan yang lain, karena mereka telah menjeratdirinya pada rasionalitas teknologis secara absolut, netral nilai keagamaan tapi sarat nafsu penaklukan.
2.      Kepribadian yang Terpecah (Split personality)
Karena kehidupan manusia modern dipolakan oleh ilmu pengetahuan yang coraknya kering nilai-nilai spiritual dan terkotak-kotak itu, maka manusianya menjadi pribadi yang terpecah kehidupan manusia modern diatur menurut ilmu yang eksak dan kering. akibatnya kinitelah menggelinding proses hilangnya kekayaan rohaniah, karena dibiarkannya ilmu-ilmu positif (ilmu yang hanya mengandalkan fakta-fakta empirik, obyektif, rasional, dan terbatas) dan ilmu-ilmu sosial. Kita sama sekali tidak meremehkan atau tidak menghargai jasa yang diberikan ilmu pengetahuan eksak dan sosial, tetapi, yang kita inginankan agar ilmu-ilmu tersebut diintergerasikan antara satu dan yang lainnya melalui tali pengikat, yaitu ajaran agama dari Tuhan, sehingga seluruh ilmu itu diarahkan pada tujuan memuliakan manusia, mengabdikan dirinya pada Tuhan, berakhlak mulia dan seterusnya.
3.      Penyalahgunaan Iptek
Sebagai akibat dari terlepasnya ilmu pengetahuan dan teknologi dari iakatan spiritual, maka iptek telah disalah gunakan dengan segala implikasi negatifnya sebagaimana disebutkan diatas. Kemampuan membuat senjata telah diarahkan untuk tujuan penjajahan suatu bangsa atas bangsa lain, subversi dan lain sebagainya. Kemampuan di bidang rekayasa genetika diarahkan untuk tujuan jual-beli manusia.
4.      Pendangkalan Iman
Akibat lain dari pola pikiran keilmuan tersebut di atas, khususnya ilmu yang hanya bersifat empirik menyebabkan manusia dangkal imannya. Ia tidak tersentuh informasi yangdiberikan wahyu, bahkan informasi yang diberikan wahyu itu menjadi bahan tertawaan dandianggap tidak ilmiah dan kampungan.
5.      Pola Hubungan Materialistik
Semangat persaudaraan dan rasa saling gotong royong yang didasarkan iman sudah tidak nampak lagi, karena imannya sudah dangkal. Pola hubungan satu dan lainnya ditentukan oleh seberapa jauh dapat memberikan keuntungan yang bersifat material. Demikian juga penghormatan yang diberikan atas orang lain banyak diukur oleh sejauh mana orang tersebut dapat memberikan manfaat secara material. Akibatnya ia menempatkan pertimbangan material diatas pertimbangan akal sehat, hati nurani, kemanusiaan dan imannya.
6.      Menghalalkan Segala Cara
Sebagai akibat lebih jauh dari dangkalnya iman dan pola hidup materialistik, makamanusia dengan mudah dapat menggunakan prinsip menghalalkan segala cara dalam mencapaitujuan. Jika hal ini terjadi maka terjadilah kerusakan akhlak dalam segala bidang, baik ekonomi, politik, sosial, dan lain sebagainya.
7.      Stres dan Frustasi
Kehidupan modern yang demikian kompetitif menyebabkan manusia harus mengerahkan seluruh pikiran, tenaga dan kemampuan. Mereka terus bekerja dan bekerja tanpa mengenal batasdan kepuasan. Hasil yang dicapai tak pernah disyukurinya dan selalu merasa kurang. Apalagi jika usaha atau proyeknya gagal, maka dengan mudah ia kehilangan pegangan, karena tidak lagi memiliki pegangan yang kokoh yang berasal dari Tuhan. Mereka hanya berpegang atau bertuhan pada hal-hal yang bersifat material yang sama sekali tidak dapat membimbingnya. Akibatnya iastres dan frustasi yang jika hal ini terus berlanjut akan menjadikan ia gila atau hilang ingatan.
8.      Kehilangan Harga Diri dan Masa Depannya
Terdapat sejumlah orang yang terjerumus atau salah memilih jalan kehidupan. Masa mudanya dihabiskan untuk memperturutkan hawa nafsu dan segala daya dan cara telah ditempuhnya. Namun ada suatu saat dimana ia sudah tua renta, fisiknya sudah tidak berdaya, tenaganya sudah tidak mendukung dan berbagai kegiatan sudah tidak dapat ia lakukan. Manusia yang demikian ini merasa kehilangan harga diri dan masa depannya, kemana ia harus berjalan, ia tidak tahu. Mereka perlu bantuan dari kekuatan yang berada diluar dirinya, yaitu bantuan Tuhan.
Banyak cara yang diajukan para ahli untuk mengatasi masalah tersebut, dan salah satu cara yang hampir disepakati para ahli ialah dengan mengembangkan kehidupan yang beraklak dan bertasawuf. Menurut Husein Nahr, paham sufisme mulai mendapat tempat di kalangan orang masyarakat termasuk kalangan barat, karena mereka mulai merasakan kekeringan batin. Mereka mulai mencari-cari dimana sufisme yang dapat menjawab sejumlah masalah tersebut di atas.
Menurut Komaruddin Hidayat terdapat tiga tujuan perlunya sufisme dimasyarakatkan pada mereka. Pertama, turut serta terlibat dalam berbagai peran dalam menyelamatkan kemanusiaan dari kondisi kebingungan akibat hilangnya nilai-nilai spiritual.  Kedua, memperkenalkan literatur atau pemahaman tentang aspek esoteris (kebatinan islam), baik terhadap masyarakat islam yang mulai melupakan maupun non Islam, khususnya terhadap masyarakat barat. Dalam hal ini Nashr menegaskan “tarikat” atau “jalan rohani” yang biasa dikenal sebagai tasawuf atau sufisme adalah merupakan dimensi kedalaman dan kerahasiaan (esoteric) dalam islam, sebagaimana syariat berasal dari Al-Quran dan Al-Sunnah. Ia menjadi jiwa risalah islam, seperti hati yang ada pada tubuh, tersembunyi jauh dari pandangan luar. Betatpapun ia tetap merupakan sumber kehidupan yang paling dalam, yang mengatur seluruh organisme keagamaan dalam islam.[8]
Intisari ajaran tasawuf adalah bertujuan memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga seseorang merasa dengan kesadarannya itu berada di hadirat-Nya. Upaya ini antara lain dilakukan dengan kontemplasi, melepaskan diri dari jeratan dunia yang senantiasa berubah dan bersifat sementara. Sifat dan pandangan sifistik ini sangat diperlukan oleh masyarakat modern yang mengalami jiwa yang terpecah, asalkan pandangan terhadap tujuan hidup tasawuf tidak dilakukan secara ekslusif dan individual, melaikan berdaya implikatif dalam meresponi berbagai masalah yang dihadapi.
Dengan adanya bantuan tasawuf ini maka ilmu pengetahuan satu dan lainnya tidak akan bertabrakan, karena ia berada dalam satu jalan dan satu tujuan. Hubungan ilmu dan ketuhanan yang diajarkan agama jelas sekali. Ilmu mempercepat anda sampai ke tujuan, agama menentukan arah yang dituju. Ilmu menyesuaikan manusia dengan lingkungannya, dan agama menyesuaikan dengan jati dirinya. Ilmu menjawab pertanyaan yang dimulai dengan “bagaimana” dan agama menjawab pertanyaan yang diawali dengan “mengapa”. Ilmu tidak jarang mengeluarkan pikiran pemiliknya, sedangkan agama menenangkan jiwa pemeluknya yang tulus.[9]
Selanjutnya sikap frustasi bahkan hilang ingatan alias gila dapat diatasi dengan sikap ridla yang diajarkan dalam tasawuf, yaitu selalu pasrah dan menerima terhadap segala keputusan Tuhan. Ia menyadari bahwa Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu adalah Tuhan. Sikap yang demikian itu diperlukan untuk mengatasi frustasi dan sebagainya.
Sikap materialistik dan hedonistik yang merajalela dalam kehidupan modern ini dapat diatasi dengan menerapkan konsep zuhud, yang pada intinya sikap yang tidak mau diperbudak atau terperangkap oleh pengaruh duniawi. Jika sikap ini telah mantap, maka ia tidak akan berani menggunakan segala cara untuk mencapai tujuan. Sebab tujuan yang ingin dicapai dalam tasawuf adalah menuju Tuhan, maka caranyapun harus ditempuh dengan cara yang disukai Tuhan.
Demikian juga ajaran uzlah, yaitu usaha mengasingkan diri dari terperangkap tipu daya keduniaan, dapat pula digunakan untuk membekali manusia modern agar tidak menjadi sekruft dari mesin kehidupan, yang tidak tahu lagi arahnya mau dibawa kemana. Konsep ini berusaha membebaskan manusia dari perangkap-perangkap kehidupan yang memperbudaknya. Ini tidak  berarti seseorang harus menjadi pertapa. Ia tetap terlihat dalam berbagai kehidupan itu, tetapi ia tetap mengendalikan aktivitasnya sesuai dengan nilai-nilai ketuhanan, dan bukan sebaliknya larutdalam pengaruh keduniaan.
Di balik kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, dunia modern sesungguhnya menyimpan suatu potensi yang dapat menghancurkan martabat manusia.[10] Untuk menyelamatkannya perlu tasawuf yang wujud konkretnya dalam akhlak yang mulia. Menurut jalaluddin Rahmat, sekarang ini di seluruh dunia timbul kesadaran betapa pentingnya memperhatikan etika dalam pengembangan sains. Di beberapa negara maju telah didirikan lembaga-lembaga “pengawal moral” untuk sains. Yang paling terkenal ialah The Institut of Society, Etics and Life Science di Hasting New York. Kini telah disadari, seperti kata Sir Mac Farlance Burnet, biolog Australia, bahwa: “sulit bagi seorang ilmuwan eksperimental mengetahui apa yang tidak boleh diketahui. Ternyata, sains tidak bisa dibiarkan lepas dari etika, kalau kita tidak ingin senjata makan tuan.”[11]
Terakhir problema masyarakat modern di atas adalah manusia yang kehilangan masadepannya, merasa kesunyian dan kehampaan jiwa di tengah-tengah derunya laju kehidupan.Untuk ini ajaran akhlak tasawuf yang berkenaan dengan ibadah, zikir, taubat dan berdoa menjadi penting, sehingga ia tetap mempunyai harapan, yaitu bahagia hidup di akhirat nanti. Bagi orang-orang yang sudah lanjut usia yang dahulu banyak menyimpang hidupnya, akan terus dibayangi perasaan dosa, jika tidak segera bertaubat. Tasawuf akhlak memberi kesempatan bagi penyelamatan manusia yang demikian. Itu penting dilakukan agar ia tidak terperangkap ke dalam praktek kehidupan spiritual yang menyesatkan, sebagaimana yang akhir-akhir ini banyak  berkembang di masyarakat.
Itulah sumbangan positif yang dapat digali dan dikembangkan dari ajaran tasawuf akhlak. Untuk itu, dalam mengatasi problematika masyarakat modern saat ini, akhlak tasawuf harus dijadikan alternatif terpenting. Ajaran akhlak tasawuf perlu disuntikkan ke dalam seluruh konsep kehidupan. Ilmu pengetahuan, ekonomi, sosial, polotik, kebudayaan dan lain sebagainya perlu dilandasi ajaran akhlak tasawuf. Dan inilah harapan kita.

DAFTAR PUSTAKA
Kuntowijoyo. 1991. Paradigma Islam Interprestasi unutk Aksi, Bandung: Mizan.

Nashr, Husein. 1985. Tasawuf Dulu dan Sekarang, (terj.) Abdul Hadi W.M., dari judul asli, Living Sufisme. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Noer, Deliar. 1987. Pembangunan di Indonesia. Jakarta: Mutiara.

Poerwadarminta, W.J.S. 1991. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Rahmat, Jalaluddin. 1991. Islam Alternatif. Bandung: Mizan.

Shihab, Quraish. 1996. Wawasan al-Quran. Bandung: Mizan.

Susanto, Astrid S. 1979. Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial. Bandung: Bina Cipta.






[1]W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), cet. XIII, hlm. 636.
[2]Ibid., hlm. 653.
[3]Deliar Noer, Pembangunan di Indonesia, (Jakarta: Mutiara, 1987), hlm. 24.
[4]Astrid S. Susanto, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, (Bandung: Bina Cipta, 1979), cet.II, hlm.178.
[5]Ibid., hlm. 44
[6]Jalaluddin Rahmat, Islam Alternatif, (Bandung: Mizan, 1991), cet.IV, hlm.157.
[7]Ibid., hlm.157.

[8]Husein Nashr, Tasawuf Dulu dan Sekarang, (terj.) Abdul Hadi W.M., dari judul asli, Living Sufisme, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1985), cet.I, hlm.181; Lihat pula,  Ideals and Realities of Islam, hlm.121
[9]M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran, (Bandung: Mizan, 1996), cet.III,  hlm.376-377.
[10]Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interprestasi unutk Aksi, (Bandung: Mizan, 1991), cet.I, hlm.159.
[11]Jalaluddin Rahmat, op. cit., hlm.158

Tidak ada komentar:

Posting Komentar