Manusia
adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna, karena dilengkapi akal dan
pikran sebagiman yang tidak dimiliki oleh hewan, tumbuhan, serta makhluk yang
lain. Oleh karena itu, manusia selalu memiliki rasa ingin tahu yang besar
terhadap fenomena alam yang ada disekitarnya. Dengan perasaan penasaran inilah manusia mulai
berpikir untuk mencari penyebab atau kebenaran yang hakiki dibalik segala
fenomena alam yang terjadi. Mulai dari sinilah, muncul yang disebut dengan
filsafat. Filsafat merupakan induk dari semua ilmu pengetahuan. Karena melaui
filsafat inilah seseorang mulai mencari kebenaran.
Filsafat
berasal dari bahasa Yunani yaitu Philosophia.
Philein yang berarti mencintai dan shopia berarti kebijaksanaan.
Jadi philosophia artinya mencintai kebijaksanaan. (Arab: Muhibbu al-Hikmah;
Inggris: Love of Wisdom). Akan tetapi dalam lisan Arab kata Sophia dipindah
kedalam bahasa mereka dengan kata hikmah.
Kebijaksanaan
atau pengetahuan sejati itu tidak didapati oleh satu orang saja. Secara
histori, setelah datang seorang folosof (orang yang berfilsafat), kemudian
muncul filosof lain yang mengoreksi temuan filosof pertama dan mengajukan
gagasan pembaruan dari yang sebelumnya, demikian seterusnya selama kehidupan
berlangsung. Ini adalah refleksi potensi kemanusiaan yang telah dianugerahkan
oelah Allah SWT yaitu akal, intuisi, alat indera, dan kekuatan fisik.[1]
Jadi
secara sederhana dapat dikatakan, filsafat adalah hasil kerja berpikir dalam
mencari hakikat segala sesuatu secara sistematis, radikal dan universal.
Sedangkan dalam filsafat Islam sendiri adalah hasil pemikiran filsuf tentang
ketuhanan, kenabian, manusia dan alam yang disinari oleh ajaran islam dalam
suatu aturan pemikiran yang logis dan sistematis yang diciptakan oleh ahli
pikir Islam.[2]
Menurut
sejarah banyak sekali filsuf Islam yang muncul seperti al-Kindi, Al-Razi, Ibnu
Sina, Al-Ghazali, Ibnu Ryusd, Al-Farabi dan lain-lain. Akan tetapi pada makalah
ini, penulis akan focus membehas filsuf Islam yakni Al-Farabi. Beliau pada
zamannya termasuk seorang filsuf yang sangat terkenal bahkan ada yang
menyebutnya sebagai Muallim Assani
(Guru besar filsafat kedua setelah Aristoteles). Ia berasal dari daerah Farab
wilayah Turkistan. Pada masanya, beliau dapat dibilang filsuf terbesar yang
memilki banyak keahlian di banyak bidang keilmuan seperti bahasa, matematika,
kimia, astronomi, ilmu alam, music, manthiq dan sebagainya. Beliau juga
sekaligus peletak dasar filsafat dibeberapa cabang keilmuan yang nantinya akan
dibahas oleh penulis diantaranya yaitu tentang ketuhanan, filsafat kenegaraan,
filsafat praktis serta filsafat logika dan bahasa yang tentu akan sangat
menarik jika dibahas nanti.
Berdasarkan
ulasan latar belakang inilah penulis mengambil judul “Al-Farabi” pada karya tulis
ini, semoga dengan mengetahui lebih dalam tentang cara berfilsafat al-Farabi
dapat memberikan kita tambahan ilmu yang luar biasa yang nantinya dapat kita
gunakan dalam kehidupan yang Islami.
Biografi Al-Farabi
Abu Muhammad Ibn Muhammad
Ibn Takhan Ibn Auzalagh atau yang lebih
dikenal dengan sebutan Al-Farabi dilahirkan pada tahun 257 H atau 870 M dan
meninggal pada tahun 950 M atau pada tahun 258 H – 339 H. sebagai suatu sistem
pembangunan filsafat, Al-Farabi telah membaktikan hidup dan pemikirannya pada
masyarakat dunia Islam dan tidak terkecuali bagi kaum nasrani dan yahudi.
Al-Farabi merupakan seorang philosof muslim yang menjauhi dunia politik,
keramaian dan gaungan serta kericuhan masyarakat. Ia telah membuahkan karya dan
pemikirannya yang sampai sekarang banyak dianut oleh masyarakat barat dan
timur.[3]
Kehidupan seorang Al-Farabi
dapat dikategorikan menjadi dua periode, yaitu periode pertama berawal sejak ia
dilahirkan sejak usianya beranjak 50 tahun. Informasi yang diterima tentang hal
ini adalah bahwa seorang Al-Farabi dilahirkan di Wasij, sebuah desa kecil dekat
Farab di transoxiana. Al-Farabi terlahir sebagai seorang berkebangsaan Turki
dan ayahnya seorang jenderal dan ia pernah bekerja sebagai hakim dalam kurun
waktu tertentu. Pada awal abad ke 3 H atau 9 M di Farab sendiri tengah terjadi
pergerakan kebudayaan dan pemikiran yang luas dan bersamaan dengan pengenalan
Islam dan pada saat itu pula terkenal seorang ahli bahasa Al-Jauhari yang
telah menulis buku Al-Shihah, salah seorang yang hidup pada zaman Al-Farabi.
Pendidikan dasarnya adalah keagamaan dan bahasa. Ia mempelajari fiqh, hadist
dan tafsir Al-Qur’an. Ia juga mempelajari bahasa Arab, Turki dan Parsi. Adalah
sangat meragukan bahwa seorang Al-Farabi menguasai bahasa-bahasa lainnya
seperti apa yang dikatakan oleh Ibn Khalikan, Al-Farabi menguasai 70 bahasa.[4]
Periode kedua, kehidupan
Al-Farabi adalah pada massa tua. Baghdat, sebagai pusat belajar terkemuka pada
abad ke 4 H atau 10 M merupakan tempat pertama yang dikunjunginya dan disanalah
ia bertemu dengan sarjana-sarjana dari berbagai bidang keilmuan dan diantaranya
adalah para philosof dan penterjemah. Al-Farabi pun tertarik untuk mempelajari
logika, dan diantara ahli-ahli logika terkenal di Bagdhat diantaranya adalah
Abu Bisyr, Matta Ibn Yusnus lah yang dipandang sebagai seorang ahli logika yang
paling terkemuka dizamannya. Untuk beberapa waktu Al-Farabi belajar dari Ibn
Yusnus dan berhasil mengungguli gurunya karena pencapaiannya yang gemilang
dibidang logika. Guru logika yang kedua yang dimiliki Al-Farabi adalah muridnya
yang bernama Yahya ibn Adi.
Al-Farabi tinggal di Bagdhat
selama kurun waktu 20 tahun dan kemudian ia pun tertarik dengan pusat
kebudayaan yang lain di Aleppo. Disana, tempat orang-orang pandai dan para
sarjana. Istana Saif Al-Daulah berkumpul para penyair, ahli bahasa, philosof
dan sarjana – sarjana kenamaan lainnya. Tetapi ia memilih hidup sederhana
(Zuhud) tidak tertarik dengan kemewahan dan kekayaan.[5]
Al-Farabi hidup pada zaman ketika situasi politik dan kekuasaan Abbasasiyah
diguncang oleh berbagai gejolak, pertentangan dan pemberontakan. Diperkirakan
erat kaitannya dengan situasi politik yang demikian kisruh, al-Farabi gemar
berhalwat, menyendiri, dan merenung. Ia merasa terpanggil untuk mencari pola kehidupan
bernegara dan bentuk pemerintahan yang ideal.[6]
Karena begitu
mendalam penyelidikanya tentang filsafat Yunani terutama mengenai
filsafat Plato dan Aristoteles,
sehingga ia digelari julukan Mu’ alim
Tsani (Guru Kedua), karena Guru Pertama
diberikan kepada Aristoteles,
disebabkan usaha Aristoteles meletakkan dasar ilmu logika yang
pertama dalam sejarah dunia.
Karya-karya Al-Farabi
Al-Farabi
dikenal sebagi filsuf Islam yang terbesar memiliki keahlian dalam bidang
keilmuan, seperti bahasa, matematika, logika, manthiq dan sebagainya. Sebagian
besar karyanya hilang, dan yang masih bisa dibaca dan dipublikasikan kurang
lebih 30 judul saja, diantaranya yaitu:
1.
Al-Jam’u baina Ra’yay al-Hakimain
Alflatun wa Arissthu;
2.
Tahiq Ghard Aristu fi kitab ma
Ba’da Ath-Thabi’ah;
3.
Syarah Risalah Zainun al-KAbir
al-Yunani;
4.
At-Ta’liqat;
5.
Risalah fima Yajibu Ma’rofat Qabla
ta’allumi al-Falsafah;
6.
Kitab Tahsil as-Sa’adah;
7.
Risalah fi Istbat al-Mufaraqah;
8.
‘Uyun al-Masa’il;
9.
Ara ‘Ahl-al-Madinah al-Fadilah;
10.
Ihsa al-‘Ulum wa at-Ta’rif bi
Aghradita;
11.
Maqalat fi Ma’ani Aql;
12.
Fushul al-Hukm;
13.
Risalat al-Aql;
14.
As-Siyasah al-Madaniyah;
15.
Al-Masa’il al-Falsafiyah wa
al-Ajwibah Anha.
Dari
ktab-kitab di atas dengan berbagai macam objek kajian yang ditulis al-Farabi,
terlihat jelas bahwa ia seorang sosok filsuf, ilmuwan dan cendekiawan Islam
yang hebat. Sebelum dia, al-Kindi telah membuka pintu filsafat Yunani bagi
dunia Islam. Akan tetapi banyak persoalan yang dibicarakan belum memperoleh
pemecahan yang memuaskan. Sebaliknya al-Farabi telah menciptakan suatu system
filsafat yang jauh lebih lengkap seperti peranan yang dimiliki Plotinus bagi
dunia Barat. [7]
Filsafat
Al-Farabi
Al-Farabi
memiliki beberapa substansi pemikiran diantaranya:
Pemaduan Filsafat
Dalam
pemikirannya al-Farabi berusaha untuk memadukan beberapa aliran filsafat yang
berkembang sebelumnya, terutama pemikiran Plato, Aristoteles, dan Plotinus,
juga antara agama dan filsafat. Oleh karenanya dalam hal akhlak dan politik ia
dpengaruhi oleh Plato, dalam logika dan fisika ia dipengaruhi oleh Aristoteles,
sedangkan dalam hal metafisika ia dipengaruhi oleh Plotinus.
Ini
sebenarnya adalah usaha yang dilakukan al-Farabi kea rah sinkretis. Karena ia
percaya bahwa aliran-aliran filsafat dari seorang filosof pada hakikatnya adalah
satu, meskipun hasilnya beragam.[8]
Adapun
perbedaan antara agama denga filsafat, tidak selalu ada karena keduanya mengacu
pada kebenaran, dan kebenaran itu adalah satu, kendati posisi dan cara
mendapatkannya berbeda. Yang satu menawarkan kebenaran yang lain mencari
kebenaran. Tetapi kebenaran yang berada dalam keduanya adalah serasi karena
bersumber dari akal yang katif. Dengan demikian, filsafat Yunani tidak
bertentangan secara hakikat dengan jaran Islam. Hal ini tidak berarti Alfarabi
mengagungkan filsafat dari agama. Ia tetap mengakui bahwa ajaran Islam mutlak
kebenarannya.[9]
Metafisika
Di antara pemikiran filsafat Al-Farabi yang terkenal adalah penjelasannya tentang emanasi (al-faid),
yaitu teori yang mengajarkan tentang proses urut – urutan kejadian suatu wujud
yang mungkin (alam makhluk) dari Zat yang wajib al wujud (Tuhan).
Menurutnya, Tuhan adalah akal pikiran yang bukan berupa benda.
Segala sesuatu, menurut al-Farabi, keluar (memancar) dari Tuhan karena Tuhan
mengetahui bahwa Ia menjadi dasar susunan wujud yang sebaik – baiknya. Ilmu-Nya
menjadi sebab bagi wujud semua yang diketahui-Nya.[10]
Bagaimana cara emanasi itu terjadi? Al-Farabi mengatakan bahwa Tuhan itu benar – benar Esa sama sekali. karena itu, yang
keluar dari pada – Nya juga tentu harus satu wujud saja. Kalau yang keluar dari
zat Tuhan itu terbilang, maka berarti zat Tuhan juga terbilang. Menurut Al-Farabi dasar adanya emanasi ialah karena dalam pemikiran Tuhan dan pemikiran
akal-akal yang timbul dari Tuhan terdapat kekuatan emanasi dan
pencip-taan.
Pandangan
al-Farabi tentang sifat Tuhan, sejalan degan paham Muktazilah, yakni sifat
Tuhan tidak berbeda dengan substansi-Nya. Asmaul Husna tidak menunjukkan adanya
bagian-bagian pada Dzat Tuhan. [11]
Jiwa
Adapun tentang jiwa, al-Farabi dipengaruhi oleh
filsafat Plato. Jiwa manusia, menurut al-Farabi, memiliki 3 daya: 1) daya gerak
(quwwah muharrikah), berupa: makan (ghādiyah, nutrition), memelihara (murab-biyah,preservation),
dan berkembang biak (muwallidah, reproduction); 2) daya mengetahui (quwwah
mudrikah), berupa: merasa (hāssah, sensation) dan imajinasi (mutakhayyilah,
imagination); dan 3) daya berpikir (al-quwwah al-nāthiqah, intellectual),
berupa: akal praktis (‘aql ‘amalī) dan akal teoretis (‘aql nazharī). Dan
al-‘aql al-nazharī terbagi pada 3 tingkatan: 1) al-‘aql al-hayūlānī (akal
potensial, material intellect) yang mempunyai “potensi berpikir” dalam arti
melepaskan arti-arti atau bentuk-bentuk (māhiyah) dari materinya; 2) al-‘aql bi
al-fi’l (akal aktual, actual intellect) yang dapat melepaskan arti-arti
(māhiyah) dari materinya dan arti-arti itu telah mempunyai wujud dalam akal
yang sebenarnya (aktual), bukan lagi dalam bentuk potensial; 3) al-‘aql
al-mustafād (akal pemerolehan, acquired intellect) yang sudah mampu menangkap
bentuk murni (pure form) tanpa terikat pada materinya karena keberadaannya
(pure form) tidak pernah menempati materi.[12]
Psikologi dan Pengetahuan Kenabian
Dalam
pengobatan tentang jiwa manusia, al-Farabi menarik pada garis dasar
Aristotelian, yang diinformasikan oleh komentar-komentar dari para pemikir
kemudian Yunani. Dia mengatakan itu terdiri dari empat fakultas: Para selera
(keinginan, atau keengganan untuk obyek rasa), yang sensitif (persepsi
oleh indera substansi korporeal), yang imajinatif fakultas yang
mempertahankan gambar objek yang masuk akal setelah mereka telah dirasakan, dan
kemudian memisahkan dan menggabungkan mereka untuk sejumlah berakhir), dan rasional,
yang merupakan fakultas pemikiran.[13]
Perhatian
khusus harus diberikan untuk pengobatan al-Farabi fakultas imajinatif
jiwa, yang penting untuk interpretasi pengetahuan kenabian dan kenabian. Selain
kemampuannya untuk mempertahankan dan memanipulasi gambar objek masuk akal, ia
memberikan imajinasi fungsi imitasi.
Nabi,
di samping kapasitas intelektualnya sendiri, memiliki kemampuan imajinasi yang
sangat kuat, yang memungkinkan dia untuk menerima limpahan dari kecerdasan
inteligensi agen (kecerdasan kesepuluh dalam kosmologi emanational). Ini
inteligensi ini kemudian terkait dengan simbol dan gambar, yang memungkinkan
dia untuk berkomunikasi kebenaran abstrak dalam cara yang dapat dipahami oleh
orang biasa. Oleh karena itu apa yang membuat unik adalah pengetahuan kenabian
tidak puas, yang juga diakses melalui demonstrasi dan filsuf pemikiran, melainkan
bentuk yang itu diberikan oleh imajinasi nabi. [14]
Filsafat
Kenegaraan
Dalam hal filsafat kenegaraan, Al-Farabi membedakan menjadi lima macam:
a.
Negara Utama (al-madinah
al-fadilah), yaitu negara yang penduduknya berada dalam kebahagiaan.
Menurutnya negara terbaik adalah negara yang dipimpin oleh rasul dan kemudian
oleh para filusuf;
b.
Negara orang-orang
bodoh (al-madinah al-jahilah), yaitu negara yang penduduknya tidak
mengenal kebahagiaan;
c.
Negara orang-orang
fasik (al-madinah al-fasiqah), yakni negara yang penduduknya mengenal
kebahagiaan, Tuhan dan akal seperti penduduk utama (Fa’alal-madinah
al-fadilah), tetapi tingkah laku mereka sama dengan penduduk negeri yang
bodoh;
d.
Negara yang
berubah-ubah (al-madinah almutabaddilah), ialah negara yang penduduknya
semula mempunyai pikiran dan pendapat seperti yang dimiliki negra utama, tetapi
kemudian mengalami kerusakan;
e.
Negara sesat (al-madinah
ad-dallah), yaitu negara yang penduduknya mempunyai konsepsi pemikiran yang
salah tentang Tuhan dan akal Fa’al, tetapi kepala negaranya beranggapan
bahwa dirinya mendapat wahyu dan kemudian ia menipu orang banyak dengan ucapan
dan perbuatannya. [15]
Filsafat
Praktis
Dalam
Karyanya, Tahshil al-Sa’adah, al-Farabi memperlihatkan keidentikan real
konseptual dari gagasan para filsuf, ahli hokum dan imam, dan mengklaim bahwa
keragaman label religious dan filosofis hanyalah mencerminkan penekanan yeng
berbeda atas aspek-aspek tertentu dari realitas yang sama. Ini berarti, dengan
gaya Platonik yang bagus bahwa orang yang tidak berupaya menerapkan kesempurnan
teoritisnya untuk pencarian praktis dan politik tidak dapat mengklaim dirinya
sebagai filsuf : orang yang semacam itu menurut al-farabi adalah seorang filsug
yang “sia-sia” atau gagal. [16]
Logika
dan Filsafat Bahasa
Salah
satu pokok dalam karya al-Farabi adalah menguraikan antara logika filsafat
dengan tata bahasa umum. Hal ini kita bisa lihat di kitab al-Huruf dan Kitab
al-Alfazh al-Musta’malah fi al-Mantiq.
Realitas
historis masuknya filsafat ke dalam bahasa Arab dari suatu bahasa dan budaya
asing , masuknya bahasa Yunani kuno dan munculnya kesulitan akibat kebutuhan
akan kosa kata filsafat dalam bahasa Arab, menjadi isu penting bagi filsuf Arab
awal, termasuk guru dan murid al-farabi sendiri. Jadi melalui karya logika
al-FarabI menggambarkan salah satu usaha sistematis untuk menyelaraskan
pendekatan-pendekatan yang saling berlawanan dalam studi bahasa.
Oleh
karenanya, al-Farabi meletakkannya dalam suatu bagian karyanya yang terkenal Ihsha al-Ulum, engan menegaskan bahwa
logika dan tata bahasa merupakan dua ilmu berdasarkan kaidah yang terpisah,
masing-masing terletak di ruang lingkup permasalahannya sendiri.
Jadi
benar apa yang dikatan oleh al Farabi bahwa, “Untuk menjadi filsuf yang betul-betul sempurna, seseorang harus memilki
ilmu-ilmu teoritis dan daya untuk menggali ilmu-ilmu itu demi kemanfaatan orang
lain sesuai dengan kapasitas mereka.” [17]
DAFTAR PUSTAKA
Athaif
al-Iraqi, Muhammad. 1978. Al-Falsafah
al-Islamiya. Kairo: Dar al-Ma’arif.
Madkour,
Ibrahim. 1963. Al-Farabi A History of Muslim Philosophy. Wiesbaden: Otto Harrassowitz.
Nasution,
Hasyimsyah. 2005. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Poerwantana,
dkk. 1988. Seluk-beluk Filsafat Islam. Bandung: Rosdakarya.
Supriyadi,
Dedi. 2009. Pengantar Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia.
http://dedekusn.wordpress.com/2009/12/22/al-farabi-biografi/
(diakses
14 Februari 2014).
http://abibaba7.blogspot.com/2009/04/biografi-singkat-al-farabi.html
(diakses 14 Februari 2014).
http://en.wikipedia.org/wiki/Al-Farabi
(diakses 14 Februari 2014).
[1] Dr. Hasyimsyah Nasution, MA. Filsafat
Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005, Hlm. 1-2.
[2] Muhammad Athaif al-Iraqi, Al-Falsafah
al-Islamiya, Kairo: Dar al-Ma’arif, 1978, Hlm. 19-20.
[3] Poerwantana, dkk, Seluk-beluk
Filsafat Islam, Bandung: Rosdakarya, 1988, Hlm. 133.
[4] Dr. Hasyimsyah Nasution, MA. Ibid.,
Hlm. 32.
[5] Dedi Supriyadi, M.Ag. Pengantar
Filsafat Islam, Bandung :Pustaka Setia, 2009, Hlm. 81.
[6] Ibid., Hlm. 83.
[7] Ibid., Hlm. 84.
[8] Ibrahim Madkour, Al-Farabi A
History of Muslim Philosophy, Wiesbaden: Otto Harrassowitz, 1963, Hlm. 456.
[9]. Hasyimsyah Nasution, MA. Ibid.,
Hlm. 34.
[10] http://dedekusn.wordpress.com/2009/12/22/al-farabi-biografi/
[11] Dedi Supriyadi, M.Ag. Ibid.,
Hlm. 88-89.
[12] http://abibaba7.blogspot.com/2009/04/biografi-singkat-al-farabi.html
[13] http://en.wikipedia.org/wiki/Al-Farabi
[14] Hasyimsyah Nasution, MA. Ibid.,
Hlm.44.
[15] Dedi Supriyadi, M.Ag. Ibid.,
Hlm. 89-95.
[16] Ibid., Hlm. 96-97.
[17] Ibid., Hlm. 98-99.
Manteb artikelnya gan, nice posting . . .
BalasHapus