Filsafat
modern, adalah wacana filsafat yang lahir sebagai respon terhadap Suasana
filsafat sebelumnya. Kefilsafatan sebelum masa modern adalah kefilsafatan yang
bercorak tradisional, yang bisa diartikan “berfilsafat dengan cara-cara lama”,
sebagaimana arti kata tradisional berbanding terbalik dengan arti kata modern
yang mermakna sebagai “sesuatu yang baru”. Makna modern (sesuatu yang baru),
mencakup segenap sendi-sendi kehidupan social dan budaya manusia yang terkait
dengan dimensi materil dan spiritualnya pada seputar bagaimana cara mengetahui
yang benar, kevalidan sesuatu, struktur pengetahuan itu sendiri dan
implementasi nilai-nilai yang terkandung dalam pengetahuan manusia.
Lahirnya
filsafat dalam ruang sejarah manusia tidak dapat dilepaskan dari kondisi
yang melingkupinya. Demikianpun dengan wacana filsafat modern, selain dapat
diartikan sebagai filsafat yang merespon (mengkritisi, membongkar,
kadang-kadang menguatkan) tradisi dalam kurun waktu tertentu, modern juga
mengandung nilai-nilai kesinambungan yang kontinyu, berdasarkan
keadaanya. Keadaan yang berkembang pada babakan Eropa pertengahan,
adalah kuatnya otoritas agama (gereja), sebagai pengontrol kehidupan
masyarakat. Kebebasan berfikir selalu dibatasi oleh kekuasaan gereja, hingga
kondisi ini melahirkan sebuah kegelisahan intelektual oleh para ilmuan yang
bermuara pada lahirnya revolusi berfikir yang berontak terhadap keadaan
tersebut. Suasana ini menjadi latar sejarah lahirnya filsafat modern yang
kelak menjadi penentu bangkitnya Eropa modern dengan segala
aspeknya (renaisance).
Dengan
demikian filsafat modern berarti filsafat yang mengandung kebaruan berdasarkan
waktunya, corak epistemologinya dan dinamika yang terjadi pada seputar
metodologi dan kerakteristiknya.
Sejarah
filsafat terdiri dari tiga periode. Periode pertama, adalah periode
klasik, sebagai kelanjutan era kuno yang dimulai dari Athena, Alexsanderia, dan
pusat-pusat pemikiran Helenistik dan Roma. Periodekedua, adalah periode
pertengahan dan periode ketiga, adalah periode modern yang dilanjutkan
dengan periode post-modernisme.[1]
Socrates
masuk pada kategori era klasik bersama para filosof lainnya, semisal Plato yang
menjadi muridnya dan kemunculan Aristoteles sebagai murid dari Plato menjadi
puncak keemasan era filsafat klasik. Filsafat Plato menemukan sebuah realitas
sejati yang disebutnya sebagai dunia ide yang merangkum segala bentuk Kebenaran
berdasarkan ide atau sisi rasionalitas manusia. Baginya realitis fisik adalah
refleksi terhadap dunia ide. Berbeda dengan muridnya, Aristoteles
memperkenalkan paham realisme. Menurutnya realitas adalah benda-benda konkrit
yang menciptakan kesatuan antara bentuk dan subtansi.[2]
Setelah
masa Aristoteles, wacana kefilsafatan menjadi redup.[3]
Kerakteristik filsafat Barat abad pertengahan adalah pembenaran terhadap
otoritas Kitab. Salah seorang yang terkenal pada masa itu adalah Thomas Aquinas
(1225-1274 M), K. St. Bona Venture (1221-1257M). Pemikiran mereka berusaha
untuk merekonsiliasi antara akal dan wahyu.[4] Mereka
berusaha menjabarkan dogma-dogma Kristen dengan ajaran filsafat. Akal pada
waktu itu bagaikan hamba perempuan untuk memuaskan nafsu “kelaki-lakian”
teologi Kristen. Seorang tokoh lain yang muncul pada waktu itu adalah St.
Agustinus (1354-1430M) bahkan tidak percaya dengan kekuatan akal dalam mencari
kebenaran apapun. Baginya kebenaran sepenuhnya terbenam, berada dalam wahyu
Tuhan (teks). Singkatnya, pada masa itu, persoalan epistemologi mengalami
kepiluan dan penderitaan di bawah tafsir tunggal para agamawan yang sekaligus
menjadi penguasa politik pada zaman tersebut.
Kekuasaan
keagamaan yang tumbuh berkembang selama abad pertengahan di Eropa tampaknya
menyebabkan terjadinya supremasi Semitik di atas alam pikiran Hellenistik. Di
lain pihak, orang merasa dapat memadukan Hellenisme yang bersifat manusiawi
intelektual dengan ajaran agama yang bersifat samawi-supernatural.[5] Dari
sinilah tumbuhrasionalisme, empirisme,
idelisme, dan positivisme yang kesemuanya memberikan perhatian
yang amat besar terhadap problem pengetahuannonmetafisika (bukan
agama) dan lahirlah babakan baru yakni babak modern yang
ditandai dengan gerakan renaissance yang merentang dari abad 14
M hingga abad 16.[6]
Reneisance
dalam bahasa Prancis dan Inggris berarti kelahiran kembali atau
kebangkitan kembali. Dalam bahasa latin, kata renaissance diidentikkan dengan
arti kata, nascentia, nascor, yang bermakna kelahiran, lahir,
dilahirkan.[7] Istilah
ini meliputi suatau zaman di mana setiap orang merasa dilahirkan kembali dalam
keadaban. Zaman tersebut menekankan otonomi atau kedaulatan manusia dalam
berfikir, bereksplorasi, bereksprimen dalam mengembangkan seni sastra dan ilmu
pengetahuan di Eropa. Manifestasi utama dari gerakan ini adalah; gerakan
humanisme, eksistensialisme dan naturalisme dengan menerjemahkan kembali sumber-sumber
Yunani dan Romawi yang mengantar terbukanya pemikiran manusia terhadap
illmu-ilmu baru (modern). Dalam bidang agama istilah renaissance ditandai
dengan terusiknya kemapanan agama Kristen yang mengarah pada reformasi
protestan.
Reneisance Eropa yang mengantar babak modern, memicu
berkembangnya filsafat yang bercorak empirik. Akibatnya metodologipun
berkembang ke induksi-eksprimentasi. Tokoh-tokoh yang membuka jalan
ke gerbang ini antara lain adalah, Copernicus, Kepler, Galileo, Isac
Newton dll.[8]
Lahirnya metodologi baru pada era ini akibat terjadinya
pergeseran paradigma filsafat. Manusia melihat, merasakan dan menyadari adanya
potensi pada dirinya untuk menentukan kebenaran, tolak ukur dan validitasnya
lewat metode penginderaan-observasi, eksprimen terhadap realitas fisik
melahirkan cara yang selanjutnya disebut metode ilmiah.[9]
Efek metode ini melahirkan teori holosentris (Copernicus), Kepler
mengganti teologi langit skolastisisme dengan fisika langit. Demikian juga
dengan Galileo yang menurunkan derajat alam sebagai benda yangmemiliki kualitas
ketuhanan menjadi benda alam yang matematis-kuantitatif (profan). Newton, sang
jenius, berhasil menumbangkan kosmologi gereja yang menganut paham
teologis-skolastik dengan prinsip determinisme mekanika universal.[10] Kebebasan
dan kreativitas berpikir ini menimbulkan kemarahan pihak gereja yang merasa
otoritasnya terancam sehingga kaum gerejawan memilih jalan suram dengan
menghukum mereka bahkan membunuhnya.
Keberhasilan ilmu-ilmu empirik yang diraih pada masa
Reneisans menjadikan filsafat, terutama epistemologi rasional-intuitif,
mengalami kemunduran. Gereja terjebak dalam reaksi ekstrim dengan
memutuskankemampuan akal dan ilmu serta membentengi ajarannya dengan perisai
kalbu dan keimanan. Sesuatu yang sangat apologis. Di sisi lain kegemilangan
ilmu-ilmu alam (fisika) dengan Newton sebagai tokoh utamanya telah
membangkitkan semangat empirisme rasional-materialistik dibidang astronomi,
biologi, psikologi, sosiologi, maupun filsafat. Laplace misalnya, berani
mengatakan bahwa teori astronomi yang dibangunnya tidak membutuhkan hipotesis
tentang peran Tuhan untuk menjelaskan asal-usul alam semesta.[11] Begitu
juga Darwin yang menafikan keterlibatan Tuhan dalam kehidupan organis, yang
berjalan sendiri melalui prinsip mekanika hukum evolusi yaitu seleksi alamiah.
Demikian juga dengan Freud yang memandang konsep Tuhan bagi orang-orang
beragama sebagai ide ilusif karena berasal dari imajinasi ketidakberdayaan
manusia dalam menghadapi fenomena yang ada diluar dirinya.[12] Sedangkan
bagi Durkheim, kekuatan supranatural atau hal-hal yang gaib tidak lebih dari
kekuatan-kekuatan listrik yang terkonsentrasi dalam diri manusia, sehingga ia
tidak bercaya pada metafisika atau Tuhan.[13] Menurutnya,
yang lebih pantas disebut sebagai Tuhan adalah masyarakat, karena masyarakat
mampu mengakomodasi hal-hal diyakini sebagai sifat-sifat Tuhan.
Kemudian tak ketinggalan pula Karl Marx mengatakan agama
adalah candu, konsep surga dan kerajaan Tuhan di akhirat adalah refleksi
penderitaan kaum proletar sebagai manuver kaum borjuis untuk menyembunyikan
realitas sosial yang sebenarnya, agar kedudukan mereka sebagai tuan tanah tetap
kukuh dan memonopoli alat-alat produksi hingga mereka tetap menguasai roda
ekonomi sekaligus aman dari kemarahan kaum proletar.[14] Agama
tidak lain dari konstruk borjuis bukan berasal dari dunia gaib. Demikianlah
dampak dari traumatisasi masyarakat Eropa terhadap agama yang kemudian mencari
penenangnya pada ilmu pengetahuan yang berubah makna tidak lebih sebagai
ilmu-ilmu alam dan ilmu sosial dengan menjadikan eksprimen dan observasi
sebagaipisau analisis metodologis.
Selanjutnya, Pranarka menjelaskan bahwa zaman modern ini
telah membangkitkan gerakan Aufklarung, suatu gerakan yang meyakini bahwa
dengan bekal pengetahuan, manusia secara natural akan mampu membangun tata
dunia yang sempurna. Optimisme Aufklarung serta perpecahan dogmatik doktriner
antara berbagai macam aliran sebagai akibat dari pergumulan filsafat modern
yang menjadi multi-aplikatif telah menghasilkan krisis budaya.[15]
Semua itu menunjukkan bahwa perkembangan filsafat tampaknya
berjalandalam dialektika antara pola absolutisasi dan pola relativisasi, yang
ditandai dengan lahirnya aliran-aliran dasar seperti skeptisisme, dogmatisme,
relativisme, dan realisme. Namun, di samping itu, tumbuh pula kesadaran bahwa
pengetahuan itu adalah selalu pengetahuan manusia. Bukan intelek atau rasio
yang mengetahui, manusialah yang mengetahui. Kebenaran dan kepastian adalah
selalu kebenaran dan kepastian di dalam hidup dan kehidupan manusia.[16]
Peradaban Eropa modern terbentang mulai dari abad -15 hingga
abad ke-19 dengan watak pemberontakannya terhadap periode pertengahan. Bertrand
Russel, sebagaimana dikutip oleh Rodliyah Khuzai, mengemukakan lima perbedaan
antara periode modern dibanding periode pertengahan.
1.
Pertama, berkurangnya
otoritas gereja dan meningkatnya otoritas ilmu.
2.
Kedua, kekuasaan gereja
yang semula dominan mulai berkurang dan digantikan fungsinya oleh raja.
3. Ketiga, jika abad
pertengahan manusia berusaha memahami dunia (theorical science), maka masa
modern manusia berusaha mengubah dunia yaitu (practical Science).
4. Keempat, jika pada masa
pertengahan manusia yang berusaha memahami dunia dan tidak sesuai dengan isi
kitab suci maka akan dihukum. Tetapi pada masa modern penolakan terhadap
kitab suci dianggap sah jika menemukan sebuah teori yang dilandasi oleh ilmu
pengetahuan.
5.
Kelima, kebebasan dari
otoritas gereja menimbulkan individualisme atau bahkan anarkisme.[17]
Berman
mengidentifikasi tiga fase perbedaan secara historis perkembangan modernitas
dari abad ke-13 hingga abad ke-18.
1.
Pertama, pengalaman
kehidupan modern.
2. Kedua, revolusi Prancis dan
munculnya pergolakan sosial, politik, serta kehidupan individu yang berkenaan
dengan gelombang revolusi besar pada 1790.
3. Ketiga, kemudian terjadi
peleburan proses modernisasi dan perkembangan budaya dunia modern yang lebih
mempercepat perubahan di bidang sosial dan kehidupan politik yang berdampak
munculnya bentuk pengalaman baru.[18]
Berman
menyoroti modernitas dari sisi gejolak sosial politik yang terjadi. Dia melihat
struktur masyarakat Eropa modern di bangun dari beberapa momen perubahan sosial
politik yang melanda Eropa dari rentang waktu abad 13 Masehi hingga abad 18
Masehi. Gejolak sosial politik diyakini sebagai bagian dari dampak dinamis
prinsip-prinsip perkembangan ilmu pengetahuan.
Modernisasi
juga berhubungan dengan industrialisasi. Ia petunjuk jalan untuk memperlihatkan
kunci bagi modernitasi dalam mengubah kesadaran masyarakat. Dalam artian luas,
modernisasi dapat dipahami sebagai sebuah keberanian dan pengakuan kesadaran
sebagai kekuatan dalam dirinya. Dengan demikian, era modern ditandai dengan
usaha manusia untuk mengoptimalkan potensi diri dalam mengindera, berpikir, dan
melakukan berbagai eksprimen mengelola alam.[19]
Ciri
pengetahuan modern tidak terlepas dari dua aliran besar pemikiran yang dikenal
dengan rasionalisme dan empirisme.[20] Kedua
aliran ini, menjadi kerakteristik epistemologi Barat yang memancing lahirnya
pemikiran-pemikiran lain, semisal kritisme, fenomenologi, positivisme,
postpositivisme, strukturalisme, postrukturalisme, posmoderen hingga teori
kritis mazhab Frankfurt. Ragam kerakteristik pemikiran-pemikiran tersebut
sebagai bagian dari gejala renaisans, dan kaum intelektual Eropa mengalami
demam “kontras-paradigmatik”.[21]
Rasionalisme
Usaha
kritis dalam filsafat adalah untuk memeriksa kembali nilai pengetahuan manusia.
Hal ini di pandang sebagai usaha manusia untuk membedakan apa yang mantap
dengan apa yang rapuh di dalam keyakinan-keyakinan umum. Namun kesulitannya
adalah menemukan norma untuk melaksanakan pembedaan ini. Apakah ciri hkas dari
pengetahuan yang kokoh yang membedakannya dari pengetahuan yang palsu?[22] Salah
satu usaha radikal dan cerdik untuk menjawab persoalan ini ialah dengan metode
yang dikenal nama metode rasional.
Rasionalisme.
Mazhab ini dipelopori oleh Rene descartes (1596-1650), seorang filosof Prancis
yang digelar sebagai bapak filsafat modern.[23]
Setelah lama merenung ia munculkan untuk menghidupkan kembali pemikiran
filsafat idealitas yang berakar pada idealisme Plato. Ia melahirkan prinsip
yang terkenal cagito ergo sum (aku berpikir maka aku ada). Dalam
pencarian pondasi yang kuat bagi pengetahuan, ia memutuskan untuk tidak
menerima kebetulan-kebetulan dan menolak semua yang tidak pasti.[24] Dalam
hal, Kennet T Gallagher menyebutnya sebagai skeptisme moderat, lawan dari
skeptisme absolut dimana Descartes mengistilahkan metodenya sebagi
keraguan metodis Universal.[25] Ia
menggunakan keraguan untuk mengatasi keraguan.[26] Salah
satu cara untuk mengetahui sesuatu yang pasti dan tidak dapat diragukan adalah
dengan melihat seberapa jauh sesuatu itu dapat diragukan.
Menurut
Decartes observasi melalui penginderaan, kadang-kadang menipu manusia,
konsekwensinya manusiapun kadang melakukan kesalahan dalam penalaran. Namun
jika manusia “membuang” semua dimensi inderawinya, maka kalaupun ada, apalagi
yang tersisa? Dia mengatakan;
Kita
harus mengakui benda-benda jasmani ada. Namun, mungkin benda-benda tersebut
tidak persis sama seperti yang saya tangkap dengan indera, sebab pemahaman
dengan indera ini dalam banyak hal sangat kabur dan kacau; tetapi kita
sekurang-kurangnya harus mengakui bahwa semua benda yang saya pahami di
dalamnya dengan jelas dan disting...haruslah sungguh-sungguh dipahami sebagai
obyek luar.[27]
Bagi
Descartes dunia yang nampak oleh indera tidak akan mampu memberikan keyakinan
benar, seperti oase di tengan pada pasir. Oleh karena apa yang nampak bahkan
tubuh kita sendiri, nampaknya sangat meragukan, sehingga tidak ada satupun yang
nyata kecuali keraguan itu sendiri.
Ketika
segalanya nampak meragukan, tentu saja saat itu ada sesuatu yang melakukan tindakan
meragu, yaitu “aku” yang sedang ragu, berpikir dan sadar. Inilah pengetahuan
yang terang dan jelas (clara et distincta) kebenaran yang tidak lagi terbagi.
Ide seperti ini ini, clara et distincta, adalah cita-cita kesempurnaan bagi
suatu pengetahuan dan hanya yang tak terbatas yang menyebabkan ide itu ada
dalam diri manusia. Dan yang sempurna itulah tuhan. Oleh karena itu Tuhan
adalah aksistensi yang jelas dengan sendirinya. Dia-lah yang menjamin
keberadaan akal manusia, sehingga kerja akal turut dalam dalam jaminan Tuhan.
Maka konsepsi akal mengenai jumlah, letak dan ukuran, semua obyek yang bersifat
materi pastilah benar. Pada posisi ini manusia mampu memahami kebenaran secara
obyektif.[28] Oleh
karena itu rasionalisme Descartes memandang ilmu pengetahuan bersifat obyektif.
Descartes
mengajukan tiga jenis subtansi dasar yaitu; Tuhan, pikiran dan materi. Tuhan
adalah subtansi utama yang menciptakan dua subtansi yang lain.[29] Pikiran
sesungguhnya adalah kesadaran ia tidak mengambil tempat dalam ruang, karena
tidak dapat dibagi. Sedangkan dunia luar atau badan adalah materi yang
cenderung mengalami perluasan (ekstensa) dan mengambil tempat dalam ruang,
karenanya dapat dipecah menjadi bagian-bagian kecil. Alam atau materi
adalah kumpulan dari bagian-bagian kecil yang bekerja menurut hukum
mekanik.[30] Dengan
demikian tubuh manusia, sebagai alam materi, seperti mesin otomatis atau arloji
yang dapat bekerja sendiri meskipun lepas dari pembuatnya.[31]
Secara
demikian Descartes, sebagai tokoh sentral rasionalisme modern, memandang bahwa
alam materi hanya dapat dipahami dengan metode analisis, yaitu mereduksi
realitas material menjadi bagian-bagian kecil dan matematika adalah bahasannya.
Tuhan berlaku sebagai penjamin keberadaan akal dan materi, tuhan menciptakan
alam seperti seorang menciptakan jam yang sekali jadi tidak ada lagi hubungan
dengan penciptanya.[32] Hubungan
pencipta dengan yang diciptakan hanyalah berlaku sebagai hubungan pertama.
Epistemologi
rasionalitas-Cartesian jelas memisahkan antara pengetahuan alam materi dengan
pengetahuan alam metafisik. Alam materi hanya dapat diperoleh melalui analisis,
eksprimentasi, sedangkan kebenaran tentang Tuhan atau kebenaran yang bersifat
metafisik berhenti secara sederhana. Tuhan tetap aman pada tempatnya sebagai
pencipta, selain itu tidak ada “tempat” untuk Tuhan. Mengenai hal ini Kennet T
Gallagher menyebut pandangan Descartes sebagai pandangan dikotomis yang dilain
sisi menegaskan pandangan mekanis mengenai alam semesta yang memungkinkan
kemajuan pesat di dalam sains, tetapi memperlakukan manusia seperti “hantu yang
merasuki sebuah mesin” yang bekerja dengan hukum mekanika mesin.[33] Pada
realitas ini, Descartes menimbulkan masalah lain yaitu tentang akal
budi manusia yang sangatrumit, terkait dengan segala dimensi idealitasnya.
Selain
Descartes, rasionalisme abad 17 memiliki beberapa tokoh sentral seperti Spinoza
(1632-1677), Lebnis (1648-1716).[34] Kebanyakan
para filosof rasionalis tertap mempertahankan eksistensi Tuhan, walaupun tetap
terjadi pemisahan radikal antara alam dengan Tuhan.
Empirisme
Empirisme
pertama kali diperkenalkan oleh filsuf dan negarawan Inggris Francis Bacon pada
awal-awal abad ke-17. Ia bermaksudmeninggalkan ilmu pengetahuan yang lama
karena dipandang tidak memberi kemajuan tidak mem- beri hasil yang bermanfaat,
dan tidak memberikan hal-hal yang baru bagi kehidupan.[35] Akan
tetapi perkembangan pemikiran empirisme ini di desain secara lebih sistemik
oleh John Locke yang kemudian dituangkan dalam buku- nya “Essay Concerning
Human Understanding (1690)”.[36] John
Locke memandang bahwa nalar seseorang pada waktu lahirnya adalah ibarat sebuah
tabula rasa, sebuah batu tulis kosong tanpa isi, tanpa pengetahuan apapun.
Lingkungan dan pengalamanlah yang menjadikannya berisi. Pengalaman indrawi
menjadi sumber pengetahuan bagi manusia dan cara mendapatkannya tentu saja
lewat observasi serta pemanfaatan seluruh indra manusia.[37] John
Locke adalah orang yang tidak percaya terhadap konsepsi intuisi dan batin.
Menurut
John Locke ide dalam benak manusia didapatkan melalui pengalaman
atau aposteriori. Ide manusia lalu terbagi dua yaitu ide sederhana dan ide
kompleks. Ide sederhana didapatkan melalui penginderaan yang disebut sensasi,
sedangkan ide kompleks ialah refleksi terhadap ide sederhana yang kemudian
membentuk persepsi.[38]
Pengetahuan yang rumit harus dapat dilacak kembali pada penginderaan yang
sederhana, jika tidak akan beresiko menjadi pengetahuan yang keliru, karenanya
harus ditolak.
Bagi
Locke persepsi manusia dapat membedakan dua kualitas pada benda, yaitu kualitas
primer dan kualitas sekunder. Kawalitas primer bersifat riil yang terdapat pada
benda itu sendiri, seperti; kepadatan, keluasan, bentuk, gerak, berat, jumlah
dan lain-lain.[39] Ide yang timbul
dari kualitas primer merepresentasikan benda secara akurat, kualitas inilah
yang merupakan bagian esensial dalam kerakteristik kebenaran pengetahuan.
Karena itu ilmu bersifat obyektif yang dikarenakan berdasarnya nilai pada
indera yang merefleksikan kualitas primer pada benda. Selain kualitas primer
ide juga merupakan kualitas lain ketika mempersepsi kualitas sekunder seperti,
warna, bau, rasa, suara, yang bergantung pada kemampuan persepsi manusia,
karena tidak menggambarkan realitas sejati dan mungkin saja
meleset sehingga tidak terjamin kebenarannya.[40] Oleh
karena itu ide yang muncul dari kualitas sekunder bersifat subyektif.
Berdasarkan pemahaman ini maka pengetahuan manusia tentang Tuhan dengan
sendirinya bersifat subyektif. Karena berdasarkan teori ini, ide tentang Tuhan
dapat dirasakan melalui eksistensi diri, bahwa diri manusia adalah sesuatu yang
ada. Sesuatu yang ada hanya tercipta dari keabadian dan ketiadaan tidak mungkin
mengahasilkan sesuatu. Pengetahuan manusia yang bersumber dari eksistensi dirinya
bermula dari eksistensi yang lebih luas atau eksistensi abadi dan inilah yang
disebut Tuhan. Namun sayangnya pengetahuan manusia mengenai eksistensi
tergolang dalam kualitas sekunder, dimana kualitas sekunder mungkin saja
keliru. Karena itu meskipun metode Locke mengakui ide tentang Tuhan namun ide
tersebut sangatlah samar dan meragukan.[41] Hanya
sains yang jelas dan terang serta pasti, karena berangkat dari kualitas primer
yang mengambarkan dunia materi secara akurat meskipun dunia yang digambarkan
adalah dunia yang tak bernyawa dan tidak berbeda dari mesin.[42]
Filsuf
empirisme lainnya adalah Hume. Ia memandang manusia sebagai sekumpulan persepsi
(a bundle or collection of perception). Manusia hanya mampu menangkap
kesan-kesan saja lalu menyimpulkan kesan-kesan itu seolah-olah berhubungan.
Pada kenyataannya, menurut Hume, manusia tidak mampu menangkap suatu substansi.
Apa yang dianggap substansi oleh manusia hanyalah kepercayaan saja. Begitu pula
dalam menangkap hubungan sebab-akibat. Manusia cenderung menganggap dua
kejadian sebagai sebab dan akibat hanya karena menyangka kejadian-kejadian itu
ada kaitannya, padahal kenyataannya tidak demikian. Selain itu, Hume menolak
ide bahwa manusia memiliki kedirian (self). Apa yang dianggap sebagai diri oleh
manusia merupakan kumpulan persepsi saja.
Kritisme
Skeptisme
yang dibangun oleh Hume secara perlahan mengilhami munculnya pemikiran kritis
asal jerman bernama Immanuel Kant (1724-1804).[43] Dalam
sebuah pengakuannya Kant menyataklan bahwa Hume-lah yang membangunkannya dari
ketidak sadaran dogmatis yang dialaminya.[44] Mulanya
Kant mengaku rasionalisme lalu kemudian empirisme datang mempegaruhinya. Namun
Kant tidak sepenuhnya di bawah pengaruh empirisme dan tidak menerima metodenya
dengan begitu saja, karena dia menganggap emperisme membangun keraguaan
terhadap akal budi. Walaupun dia mengakui kebenaran pengatahuan indera sambil
tetap juga mengakui kebenaran akal budi, tetapi syarat-syaratnya harus tetap
dicari, yaitu dengan menyelidiki atau mengkritik pengetahuan akal budi dan akan
diterangkan apa sebabnya, dengan demikian pengetahuan menjadi mungkin, itulah
sebabnya mengapa aliran Kant disebut kritisme.[45]
Kant
merupanya menggabungkan empirisme dan rasioaliosme dengan mencari sintesis
antara keduanya. Dalam pandangan Kant, manusia tidak dapat mengetahui dunia
hanya dengan nalar dan observasi. Kemampuan manusia terbatas dalam memahami
hakekat dunia, tetapi tidak berarti dunia tidak dapat dipahami oleh manusia.[46] Pengakuan
keterbatasan ini dikemukakan Kant lewat teori kritiknya, yaitu; usaha-usaha
untuk meninjau batas-batas pengetahuan manusia lewat realitas. Menurutnya
realitas memiliki hal empirik dan transendental. Sesuatu yang transendental
adalah sesuatu yang pasti kebenarannya, sehingga ia bersifat laten dan harus
diterima tanpa ada kritikan. Oleh karena itu ia berada diluar tapal batas
pengetahuan manusia, yang oleh Khan disebutnoumena. Akan tetapi yang
transendental itu memililki refleksi empirik, yaitu apa yang nampak sebagai
citra dari noumena dan dapat diketahui manusia sebagai fenomena.[47]
Pengetahuan
adalah tidak lebih dari sebentuk keputusan yang terdiri dari pengetahuan
apriori dan pengetahuan apestriori. Pengetahuan apriori terlepas dari
pengalaman yang disebut sebagai keputusan analitik.[48]
Pengetahuan apestriori bersumber dari indera yang menghasilkan
keputusan sintesis.[49] Menurut
Khan, pengetahuan analitik tidak memajukan ilmu pengetahuan karena
penemuan-penemuan baru tidak dapat menemuikan jalan untuk berhubungan untuk
berhuungan dengan dunia materi. Sebaliknya pengetahuan sintetis melalui indera
tidak mempunyai validitas ilmiah karena indera hanya berhubungan dengan sesuatu
yang tunggal dan terpisah. Oleh karena itu Khan mencoba meakukan terbosan baru
yaitu adanya pernyataan sintetik yang bersifat opriori.[50] Teori
mengatakan bahwa benak manusia tidak hanya bersifat fassif menerima data-data
inderawi, tetapi justru aktif, memaksakan strukturnya kedata-data inderawi.
Berpikir
menurut Khan tidak hanya menerima kesan inderawi, tetapi juga membuat keputusan
tentang apa yang kita alami. Pengetahuan manusia muncul dari dua sumber utama
dalam benak; pertama, fakultas pencerapan, kedua, fakultas pemahaman
yang membuat keputusan pada data indera dan diperoleh melalui fakultas pertama.
Fakultas pencerapan menerima data inderawi dan menatanya dengan kategori ruang
dan waktu, sedangkan fakultas pemahaman menyatakan pengalaman yang
diterima pencerapan, melalui kategori-kategori apriori untuk ditata higga
menjadi keputusan. Kategori yang dimaksud ialah kuantitas, kualitas, rasio dan
modalitas.[51]
Karena
bentuk-bentuk intelektual ini adalah apriori, ia mempuanyai sifat universal dan
pasti. Kategori-kategori tersebut merupakan syarat apriori yang memungkinkan
suatu keputusan tentang obyek. Pikiran manusia mampu mengetahui benda-benda
sebagaimana ia nampak sesuai dengan kategori atau bentuk-bentuk intelektual,
tetapi Ia tidak dapat sampai pada hakekat pengetahuan tentang obyek. Kant
berpendapatbahwa pengetahuan tidak perlu melampaui pengalaman, karena
penampakan obyek indera menjadi wilayah obyektif yang akan menyatakan
pengetahuan ilmiah. Dengan mengetahui keteraturan pada dunia eksternal melalui
kategori-kategori, manusia akan mengetahui secara akurat mengenai obyek
sebagaimana adanya hingga fakta dapat dipahami.[52] Dengan
demikian pengetahuan bersifat obyektif karena benak manusia mampu memahaminya
secara benar melalui kategori-kategori yang bersifat pasti.
Pemikiran
yang dikembangkan oleh Khan jelas memisahkan antara fenomena dan neomena antara
dunia materi dan dunia metafisika, serta antara akal dan Tuhan. Manusia hanya
akan mampu menangkap fenomena melalui dunia materi, sedangkan nomena dan
metafisika tidak dapat dipahami. Begitu pula halnya akal dan kebebasannya,
tidak mungkin memahami Tuhan sebab paradigma ilahiyah hanya dapat diyakini
melalui moral berdasarkan perasaan.
Ciri
pokok filsafat modern adalah:
1.
pertama, bebas nilai,
subyek peneliti harus mengambil jarak dari semesta dan bersikap imparsial-netral.
2. Kedua, fenomenalisme, yaitu
pengetahuan yang absah hanya berfokus pada fenomena alam semesta, sehingga
proposisi-propososi metafisika seperti “keberadaan Tuhan” ditolak mentah-mentah
karena ia adalah proposisi tak berarti, tidak masuk akal, sebab tidak ada
pembuktian indrawinya, oleh karena itu Tuhan dan wacana-wacana spritual dalam
kacamata positivisme dianggapnonsense.
3. Ketiga, nominalisme.
Kenyataan satu-satunya adalah individual partikuler, sedangkan unversalisme
adalah penamaaan semata.
4.
Keempat, reduksionisme.
Semesta direduksi menjadi fakta-fakta yang dapat dipersepsi.
5.
Kelima naturalisme.
Peristiwa-peristiwa alam adalah keteraturan yang menisbikan penjelasan
adikodrati.
6.
Keenam, mekanisme. Semua
gejala-gejala alam bekerja secara determinis-mekanis seperti mesin.[53]
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Miswar. Paradigma Natural Dalam Konstruksi Sains.
Skripsi, 2007.
Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia, 2002.
Dirjosisworo, Sodjono. Pengantar Epistemologi dan Logika; Studi Orentasi
Ilmu Pengetahuan. Bandung: Remaja Karya, 1986.
Gahral Adian, Donny. Menyoal Abyektivitas Ilmu Pengetahuan; Dari
David Hume Hingga Thomas Khun. Jakarta: Teraju, 2002.
Herianto, Husain. Paradigma Holistik, Dialog Filsafat Sains
Dan Kehidupan Menurut Sadra Dan White Head. Jakarta: Teraju, 2002.
Hodbhoy, Peres. Ikhtiar Menegakkan Rasionalisme, Antara
Sains Dan Ortodoksi Islam. Bandung: Mizan, 1996.
Howard, Aleks. Konseling Dan Psikoterapi Cara Filsafat Dari
Phitahoras Hingga Posmodern. Bandung: Terauh, 2000.
Kartanegara, Mulyadhi.
Mengislamkan Nalar; sebuah Respon
Terhadap Modernitas. Jakarta: Erlangga, 2007.
Pranarka. Epistemologi Dasar. Jakarta: CSIS, 1987
Siswanto, Joko. Kosmologi Einstein. Bandung: Tiara
Wacana, 1996.
Suriasumantri, Jujun. Ilmu Dalam Pesfektif. Jakarta: Yayasan
Obor, 1999
T. Gallagher, Kenneth.
Epistemologi. Jogyakarta:
Kanisius, 2002
Taqi Mishbah
Yazdi, Muh. Buku Daras Filsafat
Islam. Bandung: Mizan, 2002.
Wahyudi, Imam. Pengantar Epistemologi. Yogyakarta:
UGM Press, 2007
[1]Umumnya para
cendikia filsafat memperiodesasi sejarah filsafat dalam tiga tahapan dengan
rincian-rincian yang berbeda. Sutarjo A. Wiramiharja, merinci perkembangan
filsafat dalam lima periode yaitu; (1) zaman Yunani kuno, (2) zaman Patristik
dan pertengahan yang terbagi 4 periode; pertama periode hatristik, kedua
periode awal skolastik, ketiga periode keemasan skolastik, keempat, periode
akhir abad pertengahan, (3) Zaman modern, (4) zaman baru (5) zaman pasca
modernisme. Lebih jauh lihat, Sutarjo A. Wiramiharja, Pengantar Filsafat &
Sejarah Epistemologi,(Cet. II; Bandung: Refika Aditama, 2007), h. 46-70
[2]Sodjono
Dirjosisworo, Pengantar Epistemologi dan Logika; StudiOrentasi Ilmu
Pengetahuan, (cet II; Bandung: Remaja Karya. 1986), h. 35
[3]Kegiatan
kefilsafatan hanya berkisar pada pengumpulan, pengupasan pendapat-pendapat yang
telah ada, hingga Aleksander Agung dari Mecadonia berhasil menaklukkan Yunani
dan beberapa daerah disekitarnya. Namun sekitar tahun 50-an Masehi, Romawi
menjadi lebih kuat dalam bidang militer dan politik. Sejak itu kekuasaan Romawi
mendominasi mulai dari Spayol hingga menembus Asia. Tatkala kekaisaran Romawi
mulai memeluk Kristen, doktrin Gereja disebarkan sebagai ajaran resmi negara
yang menjadi era dimulainya intimidasi pemikiran bebas dan kreatif. Keadaan ini
memuncak dengan ditutupnya lembaga pendidikan oleh kaisar Justin (259 M)
sehingga seluruh cendikiawan dan pemikir menyelamatkan diri masing-masing.
Lebih jauh lihat, Henry J. Schmandt, A History, Of Political The Fhilosophy,
alih bahasa, Ahmad Baidowi dan Imam Bahekaki, Filsafat Politik, Kajian Historis
Dari Yunani Kuno Sampai Zaman Moderen, (cet II; Jogyakarta, 2005, h. 48
[4]Donny Gahral
Adian, Menyoal Abyektivitas Ilmu Pengetahuan; Dari David Hume Hingga Thomas
Khun, (cet. II; Jakarta: teraju, 2002), h. 9
[5]Agus
Aditoni, Sebagaimana dikutip oleh Agus Aditoni dalam makalah dengan judul,
Epistemologi, diakses dari internet pada tanggal 01-12-2007
[6]Istilah ini
bergema kembali pada abad 18 setelah para pemikir social parancis dan italia mempergunakan
isstilah ini dalam karya-kkarya mereka.
[7]Lorens
Bagus, Kamus Filsafat, (Cet. II; Jakarta: Gramedia, 2002), h. 954
[8]Joko
Siswanto, Kosmologi Einstein, (Cet. I; Tiara Wacana, 1996), h. 11. lihat juga
Husain Herianto, Paradigma Holistik, Dialog Filsafat Sains Dan Kehidupan
Menurut Sadra dan White Head, (Jakarta: Teraju, 2002), h. 37. lihat juga,
Rodliyah Khuzai, Dialog Epistemologi; Muhammad Iqbal, (cet I; Bandung: Rafika
Aditama, 2007) h. 20
[9]Peran
penting para cendikiawan muslim dalam perkembanganfilsafat dunia, terutama
epistemologi corak rasional dan empirikal yang telah mengantar Eropa memasuki
peradaban modernnya dengan segala derivasinya. Bahwa ternyata tokoh-tokoh
pemikir Islam sangat berjasa menjelaskan karya-karya filsafat Yunani pada
Eropa, meskipun tetap saja realitas sejarah ini kelihatan disamarkan. Bahkan
metode eksperimen yang merupakan jembatan antara penjelasan teoritis dengan
pembuktian yang dilakukan secara empiris diyakini tidak akan sampai ke benak
orang Eropa jika tidak lewat kreativitas orang muslim. Metode ini dikembangkan
lebih lanjut oleh sarjana-sarjana muslim pada abad keemasan Islam. Semangat
untuk mencari kebenaran yang dimulai oleh para pemikir Yunani dihidupkan
kembali dalam kebudayaan Islam. Dalam perjalanan sejarah, lewat orang-orang
Muslimlah, dunia modern sekarang ini mendapatkan cahaya dan kekuatannya.
Pengembangan metode eksperimen yang berasal dari Timur ini mempunyai pengaruh
penting terhadap cara berpikir manusia, sebab dengan demikian berbagai
penjelasan teoritis dapat diuji, apakah sesuai dengan kenyataan empiris atau
tidak ? Dengan demikian berkembanglah metode ilmiah yang menggabungkan cara
berpikir deduktif dan induktif.
[10]Husain
Herianto, Paradigma Holistik, Dialog Filsafat Sains Dan Kehidupan Menurut Sadra
Dan White Head, (Jakarta: Teraju, 2002), h. 37
[11]Ibid, h. 36
[12]Mulyadhi
Kartanegara, Mengislamkan Nalar; sebuah Respon Terhadap Modernitas, Jakarta:
Erlangga, 2007), h. 12
[13]Ibid, h. 11
[14]Ibid
[15]Pranarka,
Epistemologi Dasar, (cet II; Jakarta: CSIS, 1987), h. 21
[16]Ibid, h. 12
[17]Rodhlia
Khuzoi, op. cit, h. 23
[18]Ibid, h. 21
[19]Ibid, h. 24
[20]Kenneth T.
Gallagher, The Fhilosofhy of Knowledge, alih bahasa, Hardono Hadi,
Epistemologi, (cet v; Jogyakarta: Kanisius, 2002), h. 21
[21]Kontras-paradigmatik
dapat diartikan sebagai perbedaan yang tajam dalam sistem pemikiran. Lihat A.
Hius Hurwanto dan Dahlan Albary,Kamus Ilmiah Populer (cet I; Surabaya: Arkola),
h. 369 dan 566, bandingkan dengan depertemen pendidikan dan kebudayaan, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, cet. IV; Jakarta: Balai Pustaka, 1999), h.458-459 dan
648. istilah ini juga dihakai oleh John, F. Haught untuk menunjukkan salah satu
model perjalanan interaksi agama dengan ilmu pengetahuan. Johan F. Haugh,
Pejumpaan Sains Dan Agama; Dari Konplik Ke Dialog. (cet. I; Bandung: Mizan,
2004), h. xx-17
[22]Hardono
Hadi, op. cit,., h. 28
[23]Insklopedia
Filsafat, op. cit,. h.
[24]Aleks
howard, Fhilosopy For Conselling And Psycotherapy, alih bahasa Benny Baskara,
et.al, Konseling Dan Psikoterapi Cara Filsafat Dari Phitahoras Ingga Posmodern,
(cet I; Bandung: Terauh, 2000). 175
[25]Lihat,
Hardono Hadi, op. cit.h. 28-29
[26]Ibid h. 30.
lihat juga, Banbang Q. Anees dan Radea Julia Hambali, Filsafat Untuk Umum, (cet
I; Jakarta: Prenada Media kencana, 2003), h. 313-318
[27]Ibid, h39
[28]Ibid h. 320
[29]Aleks
Howard,op. cit. h.172
[30]op. cit,, h.
321
[31]Husaen
Herianto, h. 34-35. lihat juga, Peres Hodbhoy, Islam And Science; Religious
Artodoxy Islam, alih bahasa, Sari Mutia, IkhtiarMenegakkan Rasionalisme, Antara
Sains Dan Ortodoksi Islam, (cet. I; Bandung: Mizan, 1996), h. 43-44
[32]Husaen
herianto, Loc cit
[33]Lihat, Hadi,
op. cit, h. 40
[34]Ibid
[35]Filsafat
Barat Sezaman, op. cit,, h. 45
[36]Imam Wahyudi,
Pengantar Epistemologi, (cet. I; Yogyakarta: UGM Press, 2007), h. 107-108
[37]Jujun,
Suriasumantri, Ilmu Dalam Pesfektif, (cet v: Jakarta: Yayasan Obor, 1999), h.
84
[38]Bambang Q.
Anees, loc cit , h. 334
[39]Alex Howard,
op. cit,, h. 209
[40]Ibid, lihat
jua, Hadi, loc cit .
[41]Miswar
Abdullah, Paradigma Natural Dalam Konstruksi Sains, Skripsi, 2007, h. 60
[42]Aleks
howard, op. cit,,, h. 210
[43]Hadi, op.
cit,, h. 135
[44]Muh Taqi
Mishbah Yazdi, Fhilosophycal Introduktion, alih bahasa, Musa Kazim dan Saleh
Bagir, Buku Daras Filsafat Islam (cet. I; Bandung: Mizan, 2002) h. 16
[45]Rodliayah
Khuzai, op. cit,,, h. 25. lihat juga, Husaen herianto,op. cit,, 59-60. ismail
aayarafah, ensklopedia filsafat, (cet I; Jakarta: Khilafah, 2005), h158-159.
Henri J. op. cit,,, h.4, 9
[46]Alex Howard,
op. cit. h. 275
[47]Paul
Stathern, alih bahasa, Frans Kowa, 90 Menit Bersama Khant, (Cet. I; Jakarta::
Erlangga, 2001). 11
[48]Dony Gahral,
op, h. 56-57
[49]Ibid
[50]Dony Gahrial
op. cit,, h. 56-57
[51]Dari kempat
kategori tersebut, oleh Kant, didalamya terkandung tiga sub-sub kategori, yaitu
kwantitas; universal, partikular, singular. Kulaitas; afirmatif, negatif,
negatif, infinitif. Relasi; hipotekal, disjungtif, kategorial. Modalitas;
problematikal, asertorikal, apodiktikal, op.cit, h. 61
[52]Henri, J.
Schmantd, op. cit,,., h 481
[53]Donny, Ibid,
h. 72
Tidak ada komentar:
Posting Komentar